Yogyakarta, Pelitanusantara.com Perwalian sering kali diperbincangkan akhir-akhir ini. Bukan perkara tingkat ketakwaan seseorang yang sejatinya menjadi pemacu untuk meningkatkan ketakwaan dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah serta serta menjadi urgensi akan perbincangan tema ini, namun lebih kepada pernyataan kepada siapa yang berhak menyandang kata tersebut.
Beruntungnya diskursus ini tidak mengarah kepada hal yang kontraproduktif dan cenderung bermasalah dan kontroversial sebagaimana dilakukan oleh berbagai kaum zaman dulu. Dewasa ini, perbincangan tentang wali dikomandoi oleh mereka para ulama tingkatan ustaz, kiai, dan haba’ib/para habib yang memang mengiliki pemahaman akan perwalian.
Meski banyak di antara penyebabnya adalah berawal dari pertanyaan jama’ah, namun pembahasannya juga menyentuh ranah makna kriteria dan pembahasan mendalam tentang tema tersebut sebagaimana pembahasan tema lainnya; komprehensif, mendalam, dan mencerahkan.
Tanpa maksud mendebat corak kajian di atas, penulis hendak mengulas beberapa poin refleksi tentang tema yang sama; perwalian. Ulasan ini diharapkan menjadi bentuk perwujudan rasa syukur serta dapat membawa manfaat dan keberkahan bagi semua. Berikut poin termaksud berserta deskripsinya:
Tanggung jawab sebagai Fitnah sebab sejatinya merupakan cobaan. Tanggung jawab di sini adalah dalam pengertian nikmat atau hal yang berkaitan dengan keduniaan, baik harta, keluarga, dan kedudukan. Menjadi berbanding lurus, semakin besar atau luas nikmat dikaruniakan berlaku juga untuk maknanya berupa tanggung jawab menjelma fitnah/cobaan.
Sebab harta merupakan bagian dunia, sebab dunia merupakan sarang fitnah, maka kekayaan dan kemiskinan bukan menjadi standar lagi, khususnya dalam diskursus perwalian. Walhasil, pekerjaan yang menjadi wasilah penghasilan yang enak atau nikmat sejatinya bukan hobi yang digaji namun gaji yang berpahala, jadi setingkat lebih tinggi dengan tidak menutup kemungkinan untuk terus ditingkatkan.
Sebagai contoh, profesi atau lebih tepat pemanfaatan kesempatan mengumpulkan besi yang berserakan di jalan. Besi yang bisa jadi merupakan serpihan, onderdil atau bagian terbuang lainnya dari kendaraan dapat dimanfaatkan dengan dikumpulkan, dalam jumlah relatif besar dapat menjadi sumber penghasilan. Jadi, selain menyingkirkan duri atau ranjau (“mine”) dari jalan sebagai bentuk keimanan, meski dalam kadar terlemah, namun pada saat yang sama dapat menjadi sumber rezeki dan perdagangan.
Maka jelas, takwa adalah jalan kebaikan tertinggi. Bukan hanya sebagai pembeda dalam konteks gender, profesi, juga status, jalan takwa bahkan menjadi keharusan dan keniscayaan dalam perwalian. Bukan hanya menjelma standar, takwa juga adalah tuntutan amalan perihal keimanan.
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.Penulis Lepas Yogyakarta