Senja merangkak, sinar mentari di balik pohon tamariska membiaskan warna-warna antara merah, oranye, pink, dan baris-baris kelam. Bunyi-bunyi letupan sesekali yang terjadi karena kontak senjata antara para pejuang Hamas dan tentara Israel sudah tidak lagi terdengar. Suara adzan, sayup-sayup dari Masjidil Aqsa menyelinap mengingatkan umat Islam di Jerusalem untuk memuja sembah Khaliknya.
Bukit Zaitun telah kami punggungi. Bersama para peziarah, kami meninggalkan bukit yang semakin buram di belakang kami. Aku beberapa kali menolehkan muka ke bukit tempat Tuhan Yesus pernah berdoa sebelum prosesi penyaliban-Nya. Berpikir demikian, hatiku terenggut entah oleh sentimental atau menurut ilmu angelologi, karena Roh Kudus yang memang sering berkarya merenggut orang dalam keharuan atau mungkin menurut almarhum YB. Mangunwijaya itu adalah rasa religiositas. Dalam suasana yang demikian, kadang-kadang aku tidak habis pikir, kenapa orang yang tidak berdosa rela membela orang yang berdosa, malah rela menjadi korban tebusan bagi umat yang tidak kenal pada Penciptanya?
Sudah sepuluh hari ini aku berada di Jerusalem. Peziarah yang aku bawa ini adalah kelompok yang kedua kalinya. Ada 10 orang. Rata-rata mereka adalah para umat awam kristiani, sebagian kecil saja rohaniwan dan dosen sekolah teologi. Kepada mereka aku menunjukkan tempat-tempat bersejarah Kristiani. Sehari sebelum melihat Bukit Zaitun, kami ke Danau Galilea, tempat Tuhan Yesus atau di tanah air saudara-saudara muslim sering mengenal sebagai Nabi Isa Almasih, pernah memarahi angin ribut sehingga angin yang nyaris membuat perahu Petrus, Yakobus dan para murid lainnya tenggelam itu menjadi teduh. Selain Danau Galilea, kami juga melihat tempat-tempat kelahiran Tuhan Yesus, yang sekarang sudah menjadi gereja yang megah.
Dua tahun setelah menjalani masa kevicarisan di sebuah gereja, aku mendapat cuti selama satu bulan. Iseng-iseng, tiga bulan sebelum cuti aku telpon seorang teman di Jakarta yang mempunyai yayasan yang bergerak di bidang ziarah rohani ke Israel dan Mesir. Dia menawariku untuk menjadi pemandu wisata ini. Apakah aku bisa? Aku bertanya basa-basi. Dia meyakinkanku bahwa aku bisa, karena pengetahuan teologi dan pekerjaan yang pernah aku jalani sebelumnya sebagai dosen bahasa Ibrani di sebuah sekolah teologi di kota Yogyakarta. Aku ingin ketemu pacarku, kataku. “Bisa diatur, pacarmu baik-baik saja di kota Jakarta ini. Bekerja di sebuah hotel. Kapan kau ingin ketemu, aku bisa menolong, dan selama kamu di Jerusalem, kalau mau, aku jamin kontak dengan pacarmu akan lancar,” katanya persuasif.
Okelah, dasar Israel belum pernah aku datangi. Hitung-hitung sekaligus sebagai pengalaman tambahan, mencocokkan dengan pemahaman di kelas ketika diajar sebagai mahasiswa teologi dan siapa tahu pengetahuan itu akan dapat menjadi tambahan ilustrasi khotbah. Setelah urusan paspor selesai, jadilah aku berangkat. Sekali saja aku ketemu dengan Sri yang memang sudah bekerja di sebuah hotel, sebagai tenaga akuntan. “Kau kerasan?” Tanyaku. “Habis mau gimana lagi, di kota Yogyakarta kita tidak pernah merasa aman,” ucap Sri.
Sri benar, empat tahun bekerja di sebuah kampus di kota Yogyakarta. Nyaris hampir setiap saat kami karyawan dan dosen merasa tidak aman. Ketidaknyamanan itu memuncak ketika mulai aksi bakar-bakaran dan teror-teror kepada sejumlah gereja di Situbondo dan Tasikmalaya. Merembet pada kerusuhan Poso dan Ambon.
Yang kemudian hampir menjadi histeria beberapa bulan sebelum kami memutuskan keluar dari kampus kami, ketakutan yang mencekam warga kampus terutama para pemimpin yayasan yang memiliki aset bernilai miliaran rupiah itu adalah, kejadian perusakan di kampus kami. Kalau tidak salah itu terjadi hari Jumat, setelah massa bertemu di lapangan olah raga di pusat kota, massa yang kembali ke daerah masing-masing melakukan perusakan beberapa gereja dan kampus tertentu yang mereka lewati.
Di kampus kami sendiri perusakannya terjadi demikian: dua truk yang mengangkut massa berhenti di kampus yang sudah ditutup pintu gerbangnya. Sembari meneriakkan kata-kata suci, mereka melompati pagar dan kemudian melempari gedung kapel, ruang pasca sarjana, dan ruang perpustakaan. Apakah tidak ada antisipasi dari aparat? Saat itu, menurut pengakuan satpam kampus, beberapa polisi dan satpam justru malah bersembunyi. Pak Ratijo, satpam yang saya kenal baik, berada di antara pohon jagung di depan kampus.
Sebagai seorang yang selain mengajar tetapi juga mengelola buletin kampus, segera saja sesudah kejadian, aku segera memfoto tempat-tempat kejadian dan mewawancarai para saksi mata, untuk kemudian diterbitkan dalam edisi khusus buletin kami. Tapi celakanya, setelah terbit, ketua yayasan kami uring-uringan. Buletin kampus yang kami bangun sudah sekitar empat tahun itu kemudian dibreidelnya. Alasannya? Jangan sampai memancing kemarahan massa perusak!
Sejak itulah, Sri pacarku yang menjadi pegawai keuangan dan para pegawai administratif hampir setiap weekend selalu membawa surat-surat berharga dan CPU komputer pulang ke rumah, takut kalau kampus dibakar, data-data penting menjadi hilang. Kerja kok tidak tenang. Itulah sebabnya ketika ada panggilan untuk menjadi tenaga pendeta di kota kecil, aku menanggapi dengan baik. Cari aman? Tidak, pikirku, kalau suatu ketika gerejaku diserang, paling yang dicari pendetanya bukan? Cari resiko yang besar sekalian!
Mengetahui aku pindah, Sri pun juga keluar dari kampus. Bedanya, kalau aku ke kota kecil, dia ke kota metropolitan. “Bagaimana cinta kita?” kataku suatu ketika. “Biar mengalir dulu,” katanya.
Saat itu, sampai menjelang aku berangkat ke Israel, walau sudah sempat ketemu sekali, aku belum tahu di mana Sri bekerja, ternyata di sebuah hotel, ya sebuah hotel! “Mengapa tidak memberitahuku sebelumnya?” Tanyaku. “Biar surpise kan,” katanya.
“Bom teroris meledak di sebuah hotel di Jakarta Indonesia” judul sebuah berita head-line di sebuah surat kabar di Jerusalem. Korban orang asing sekian, dan orang nasional sekian. Ditulis daftar korban yang ada, antara lain: John, Mark, Cindy, Burkin, George, Joyo, Wanto, Surti, Jitheng, Panjul, dan Sri…
Dalam berita kecil yang diraster ditulis kisah feature tentang Sri korban bom, berdasarkan kesaksian temannya. Sri yang adalah pegawai akuntansi hotel tersebut, sebenarnya sudah akan pulang, tetapi karena dia sedang mengerjakan sesuatu yang nampaknya surat buat seseorang, sehingga ia lambat pulang. Selesai Sri memasukkan surat ke amplop, tiba-tiba bom meledak. Sri yang ada di kantor lantai satu, terjungkal kaget, kepalanya membentur pintu. Jatuh terlentang, punggungnya menimpa pojok runcing meja. Dia menggeliat sebentar, kemudian berhenti bernapas. Eloknya, dia masih memegang erat surat itu. Di atasnya, tertulis: kepada kekasihku, gembala jemaat di sebuah kota kecil.
Aku melihat pohon tamariska, senja semakin tenggelam. Pohon badam, pohon ara kaku di taman. Sebuah bom terdengar meletus dahsyat, entah di mana.
Ambarawa, Semarang Oktober 2024
Oleh: Suyito Basuki