Nusa Dua, Pelitanusantara.com – Nama Cimeuhmal Coffe mungkin masih belum setenar produk kopi lain, namun kopi itu telah dikenal dan dinikmati anak-anak muda di Kawasan Bandung Raya sebagai produk hasil dari konservasi air di danau atau Situ Cimeuhmal, Banjaran, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
“Pasarnya di Coffee Shop dan pasar di sekitar Banjaran dan Bandung Raya. Tetapi kalau kopinya sendiri sudah masuk ke mana-mana, bahkan hingga Sumatera,” ujar Founder Cimeuhmal Coffe, Ahmad Saepuloh, kepada Jurnalis Pelitanusantara Group di sela-sela pameran UMKM World Water Forum ke-10 di kawasan Bali Collection, Nusa Dua, Bali, pada Jumat (24/5/2024).
Berdasarkan pantauan Jurnalis Pelitanusantara Group , aroma kopi itu tidak terlalu tajam, namun memiliki rasa yang cukup nikmat dan tidak terlalu asam walaupun tanpa diberi tambahan gula.
Ahmad mengatakan, saat ini pihaknya menjual tiga jenis varietas kopi, yakni kopi Arabika ‘Gaharu’ dengan proses full wash, kopi Arabika ‘Rasamala’ dengan proses natural dan Kopi Arabika ‘Kaliandra’ dengan proses madu (honey).
Ketiga varian kopi itu dijual dengan harga yang sama, yakni Rp35 ribu untuk ukuran 100 gram (gr), Rp180 ribu untuk uuran 500 gr dan Rp300 ribu untuk ukuran satu kilogram (kg).
“Yang paling laris Kopi Arabika proses honey, tetapi jenis proses natural juga sedang diminati pasar,” tuturnya.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan, pihaknya bertindak sebagai distributor sekaligus penjual ritel kopi yang didapatkan dari petani lokal di areal konservasi Situ Cimeuhmal, Banjaran.
Dari sekitar 16 hektare (ha) yang dikerjasamakan dengan petani tersebut, tidak semuanya ditanami sebagai implementasi konservasli alam, sehingga jumlah produk kopi yang dihasilkan juga tidak terlalu banyak.
“Jadi tidak semua wilayah tersebut kita tanami (kopi), tapi ada bagian-bagian lahan yang bisa ditanami. Jadi memang terbatas sekali (luas lahan yang menjadi areal kebun),” ungkap Founder Cimeuhmal Coffe.
Dia mengaku baru memulai Cimeuhmal Coffe sejak 2017 lalu, namun penanaman kopinya sendiri sudah dilakukan petani sejak 2004 pada saat momentum Gerakan Nasional Penyelamatan Air (GNPA).
Para petani juga baru mulai memanen kopi pada 2011 atau tujuh tahun setelah dilakukan penanaman pertama.
“Sekarang kondisinya (taraf hidup petani kopi) jauh lebih baik dari 2001 sebelum ada konservasi. Jadi ini bisa disebut ikut melestarikan lingkungan dan keberlangsungan air dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat,” pungkas Ahmad (PN-001)