Problematika Sidang Teleconfrence

Img 20210308 170335
Spread the love

Pelitanusantara.com Dalam Pandemi Covid-19 setiap pihak harus mengupayakan upaya perlindungan dan pencegahan penularan Covid-19 sehingga tatap muka dibatasi. Termasuk untuk persidangan di Indonesia saat ini yang mana telah dilakukan secara telekonfrensi. Persidangan Telekonferensi menurut penulis adalah persidangan yang dilakukan melalui telepon atau koneksi jaringan dan dilakukan menggunakan video (video conference) yang memungkinkan peserta konferensi saling melihat.

Di Indonesia sendiri pernah dilakukan beberapa Persidangan Telekonfrensi pada era tahun 2000an. Pada tahun 2002, dimana Mahkamah Agung (MA) dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog dan pemeriksaan saksi kasus Timor Timur. Lebih lanjut,di tahun 2003, pemeriksaan saksi secara teleconference juga dilakukan dalam kasus terorisme.

Richan Simanjuntak, S.H. saat ini Advokat di Adams & Co, Counsellors at Law di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan sejak tahun 2014

Namun demikian, jika menilik Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Aturan Hukum Persidangan Pidana secara Telekonferensi ini belum diatur dalam hukum positif Indonesia. Hanya Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran serta Perjanjian Kerja Sama Antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Dan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 402/Dju/Hm.01.1/4/2020, Nomor Kep-17/E/Ejp/04/2020, Nomor Pas-08.Hh.05.05 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference. Namun bagaimana jika timbul pertanyaan bagaimana hak terdakwa apabila persidangan melalui Teleconfrence, serta bagaimanma kedudukan keterangan terdakwa itu sendiri Telkonfrensi tetap tidak mengurangi hak-hak terdakwa itu sendiri? Ini menarik untuk ditelaah.

Hak Terdakwa

Mengenai Hak Terdakwa , diatur dalam Bab VI KUHAP mulai dari Pasal 50-Pasal 68 sehingga tersangka ataupun terdakwa harus tetap diperhatikan hak-haknya sehingga tidak berpotensi diperlakukan sewenang-wenang oleh penegak hukum. Sehingga hal tersebut harus sama diterapkan dalam Persidangan Telekonfrensi.

Keterangan Terdakwa

Dalam KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Pasal 189 ayat 1). Sehingga, keterangan terdakwa harus ditafsirkan bahwa keterangan yang bernilai sebagai pengakuan maupun penyangkalan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kunci dari keterangan terdakwa tersebut harus dinyatakan di sidang pengadilan, mengenai perbuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri, keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, harus disertai atau ditunjang dengan alat bukti yang lain.

Problematika

Adapun beberapa problematika yang dapat dipaparkan. Pertama, persidangan Telekonfrensi ini jelas mereduksi Pasal 145 dan Pasal 154 KUHAP. Pasal 145 ayat 1, bahwa: (1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada Terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. Sehngga berdasarkan aturan dalam KUHAP, pemeriksaan terdakwa adalah dalam sidang di Pengadilan dan bukan pemeriksaan secara elektronik (teleconference).

Kedua, dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik. Pasal 3 yang berbunyi: (1) Pengaturan Administrasi perkara dan persidangan secara elektronik dalam Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk jenis perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer dan tata usaha negara”serta dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tersebut pada Angka 2 Persidangan Pengadilan huruf a, Persidangan perkara pidana, pidana militer, jinayat tetap dilangsungkan sesuai dengan jadwal persidangan yang telah ditetapkan. bahkan pada huruf e, Persidangan perkara perdata, perdata agama dan tata usaha negara, pencari keadilan dianjurkan untuk memanfaatkan e-litigasi. Hal tersebut tidak menegaskan untuk perkara pidana sehingga seharusnya perkara pidana tetap mengacu KUHAP.

Ketiga, berdasarkan pengalaman penulis ada beberapa kendala teknis yang terjadi saat Persidangan Telekonfrensi antara lain :

fasilitas layar monitor hanya ada satu di hadapan Ketua Majelis Hakim pemeriksa perkara, sehingga menyulitkan Penasehat Hukum yang berada di ruang sidang hingga harus maju berdiri ke dekat layar monitor.

Volume suara Penuntut Umum tidak terdengar jelas dan sering komunikasi terputus hingga persidangan berhenti beberapa saat, hingga akhirnya tim IT Pengadilan Negeri datang untuk memeriksa layar monitor agar bisa tersambung kembali.

Volume suara saksi yang dihadirkan oleh Penutut Umum juga tidak terdengar jelas, sehingga penasehat hukum harus mengulangi pertanyaan agar dimengerti oleh saksi dan begitu juga sebaliknya. sehingga pemeriksaan saksi hingga pemeriksaan bukti tidak menjadi efektif, karena terbatasnya baik Hakim, Penuntut Umum hingga Penasehat hukum menggali kebenaran materil dalam persidangan.

Keempat, adanya peluang dari Penyidik untuk membatasi hak terdakwa. Dalam sidang telekonferensi ini menyebabkan terbatasnya hak antara terdakwa dan penasihat hukumnya (advokat), sebab dalam sidang terdakwa berada di rumah tahanan sedangkan pengacara tetap berada di ruang sidang. Sehingga hal tersebut menyebabkan advokat dan terdakwa tidak dapat berinteraksi karena dibatasi dengan jarak. Padahal komunikasi ini penting antara dalam hal pembuatan korespondensi untuk persidangan salah satunya nota pembelaan (Pledooi). Hal ini telah diatur tegas dalam Pasal 54 KUHAP berbunyi: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Sehingga menurut hemat penulis pada prakteknya praktek membatasi pertemuan antara Advokat dengan terdakwa adalah tidak mematuhi ketentuan Pasal 54 KUHAP. Apalagi dalam hukum pidana guna menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum maka harus dilakukan sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP (sebagaimana Pasal 183 KUHAP) yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wattelijk Bewijstheorie) dalam hal ini dengan menggunakan keyakinan hakim dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian. Keyakinan Hakim sepatutnya harus mendengar keterangan terdakwa secara langsung dengan cara memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya.

Berdasarkan uraian diatas, persidangan telekonfrensi yang saat ini dilakukan dengan menyajikan audio dan video seharusnya tetap tidak bisa menggantikan keberadaan fisik seseorang/terdakwa secara berhadap-hadapan di pengadilan. Karena filosofi dari pengadilan adalah tempat/bangunan untuk mengadili perkara. Sehingga disarankan persidangan telekonferensi saat ini belum menjadi solusi karena justru mengabaikan KUHAP khususnya dalam hal kehadiran terdakwa tidak dapat secara fisik berada di pengadilan melainkan hanya di Rutan berpotensi menyebabkan pembuktian di persidangan menjadi tidak sempurnaan ha ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP.

Ditulis oleh Richan Simanjuntak, S.H.

(Advokat, Senior Consellor di ADAMS & Co. Consellors at Law )

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!