Iklan Tri 1536x254

Prinsip Subsidiaritas dalam Membangun Kota yang Manusiawi

Download
Img 20241215 Wa0122
Img 20250318 Wa0041
Spread the love

 

Pelitanusantara.com | Tujuan primernya adalah supaya setiap manusia (warga kota) bisa bertumbuh dan mengoptimalkan segala potensi dirinya. Dan warga hidup aman damai sejahtera dalam suatu tatanan sosial (hidup bersama).

Setiap individu mesti berkembang dan berpartisipasi positif dalam kehidupan masyarakatnya. Menjalankan kewajiban pribadinya, dan juga tanggung jawab sosialnya.

Sebaliknya sistem kemasyarakatan juga mesti ditata sedemikian rupa agar tercipta rasa aman. Sistem yang bisa menghormati dan menjamin hak asasi dan hak milik/property individu.

Pemerintah kota (negara) adalah lembaga yang dititipi mandat untuk berkuasa. Mandat agar masyarakat bisa menjalani kehidupannya bersama maupun masing-masing dalam kondisi sejahtera (aman, sehat, bersih/higienis, dan tercerdaskan). Semua infrastruktur penunjang perkembangan hidupnya bisa terpenuhi dengan memadai.

Kita bisa membayangkan manusia dalam hidup bermasyarakat atau berbangsa dan bernegara ini sebagai anggota-anggota tubuh sosial.

Maka, obyek pemerintahan politis bukanlah untuk menyerap atau merusak anggota tubuh sosial. Melainkan untuk memungkinkan masyarakat dan setiap anggota tubuh sosial ini berfungsi secara benar.

Kita ambil contoh saja yang dekat. Kasus Gereja Katolik di Karimun dan Kasus Perda Syariah di Depok baru-baru ini.

Kasus Gereja Katolik di Karimun.

Setelah heboh dan gaduh beberapa waktu lalu, akhirnya Gereja Katolik St Joseph Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau, sudah bisa dilanjutkan pembangunannya. Itu hasil rapat lintas sektoral.

Rapat lintas sektoral itu dipimpin Bupati Karimun, Aunur Rafiq dan dihadiri Ketua DPRD Karimun, M Yusuf Sirat, Kapolres Karimun AKBP Yos Guntur, Danlanal Letkol Laut (P) Mandri Kartono, Sekda Karimun M Firmansyah dan Kakanmenag Karimun, Jamzuri.

Hadir juga perwakilan Aliansi Peduli Kabupaten Karimun (APKK) dan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Karimun. Sementara pihak Gereja St Joseph Karimun diwakili oleh utusan dari Keuskupan Pangkalpinang, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus.

Selain itu, disepakati pula bahwa APKK akan mencabut perkara gugatan Nomor 33/G/2019/PTUN.TPI. Pencabutan gugatan akan dilakukan, setelah pihak Gereja St Joseph Karimun menyerahkan gambar rencana renovasi ke Pemkab Karimun dan dibahas dalam rapat teknis bersama APKK dan FUIB Karimun.

Akhirnya toh pemerintah daerah turun tangan juga. Dan permasalahan sosial akhirnya bisa dibereskan.

Lalu kasus Perda Syariah di Depok.

Pemkot Depok mengusulkan sebuah Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang Penyelenggaraan Kota Religius (PKR).

Perda Syariah yang diusulkan Pemkot Depok ini ditengarai mengutip seluruhnya dari Perda Syariah Tasikmalaya. Alasannya “cukup sesuai” jika diterapkan di Depok yang sama berada di Jawa Barat.

Raperda PKR yang terdiri dari 20 pasal ini mengatur antara lain soal cara beribadah, bersikap hingga berpakaian warga.

Misalnya Pasal 5 ayat (4) dan (5) yang melarang perbuatan tercela seperti tindak pidana korupsi, perzinahan, pelacuran, mengonsumsi dan mengedarkan minuman beralkohol, aborsi, pornografi, riba, perbuatan syirik, eksploitasi anak dan perempuan, hingga penyebaran aliran sesat.

Lebih jauh Raperda ini juga mengatur etiket berpakaian (Pasal 14 ayat 1): Setiap orang wajib berpakaian sopan sesuai ajaran agamanya masing-masing dan norma kesopanan masyarakat Kota Depok.

Selanjutnya di ayat (3), mewajibkan lembaga pemerintah dan swasta untuk mendikte cara berpakaian pegawai di mana mereka yang melanggar bakal diganjar sanksi administratif hingga pencabutan izin.

Pemkot Depok menganggap perlu adanya perda seperti ini dengan alasan, bahwa secara sosiologis pertumbuhan ekonomi Depok telah sedemikian pesat hingga 7,28 persen pada 2016. Maka dengan capaian itu Depok dianggap siap mewujudkan “Tata Nilai Kehidupan yang Religius”.

Dan “Yang dimaksud religius adalah terjaminnya hak-hak masyarakat dalam menjalankan kewajiban agama bagi pemeluknya. Dan senantiasa menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kemuliaan berdasarkan norma agama, norma hukum, norma kesusilaan dan norma kesopanan,” ujar Wali Kota Depok M. Idris.

Entah dimana sambungannya antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan perlunya mewujudkan tata nilai kehidupan yang religius sedemikian sampai perlu menjadi urusan negara (pemerintah kota).

Dalam perjalanannya Raperda Penyelenggaraan Kota Religius ini ditolak oleh DPRD Kota Depok.

Yurgen Alifia Sutarno, juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga pengamat kebijakan publik Kota Depok, menilai Raperda ini adalah wujud intervensi pemerintah yang terlampau jauh mencampuri ranah privat warganya.

Sejarawan J.J. Rizal, yang berdomisili di Depok berpendapat Pemkot Depok gagal paham atas sejarah dan akar budaya kota. Lantaran Depok adalah kawasan multikultur bahkan multiras. Tidak seharusnya mengakomodasi peraturan yang condong pada salah satu kelompok.

Kegaduhan soal Raperda Syariah demi menyulap Depok jadi Kota Islami bukanlah barang baru. Dulu Depok pernah punya program “Gerakan Makan dengan Tangan Kanan.”

Entah apa kesalahan yang pernah dibuat oleh sang tangan kiri para warganya yang kidal.

Walikota Idris juga pernah merekam suara nyanyiannya sendiri untuk kemudian diputar di setiap lampu merah Depok. Ia juga yang pernah mengeluarkan Perda tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga.

Perda yang diturunkan dengan Instruksi Wali Kota Nomor 2/2018 ini adalah tentang Penguatan Ketahanan Keluarga terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual yang menyasar pada perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Hasilnya, Pemkot Depok jadi rajin merazia orang atau kelompok LGBT yang menurutnya menyimpang dari orientasi kebanyakan orang. Semacam polisi syariah.

Kasus Gereja Katolik di Karimun dan Kasus Perda Syariah di Depok ini hanyalah sebuah fenomena permukaan. Contoh kasus kontemporer dimana prinsip subsidiaritas pemerintah kota (negera) terbengkalai.

Di satu sisi kerap negara lambat turun tangan dalam pelanggaran hak yang asasi warga. Dan di sisi yang lain, kerap pula pemerintah daerah (negara) terlalu jauh mengintervensi ranah privat warganya.

Prinsip subsidiaritas menyatakan bahwa komunitas pada level yang lebih tinggi tidak boleh mengambil alih tugas komunitas pada level yang lebih rendah dan mengambil otoritasnya. Namun jika ada kebutuhan, komunitas yang levelnya lebih tinggi wajib mendukungnya.

Peran pemerintah seyogianya subsider dalam arti membantu dan memfasilitasi. Manakala pemerintah mengambil alih tugas yang dikehendaki dan yang bisa ditangani oleh inisiatif pribadi, ia jelas bertentangan dengan watak subsidernya.

Dan justru dengan demikian ia (pemerintah) malah mengurangi kesempatan bagi pertumbuhan seseorang atau komunitas warganya.

Pada intinya terletak apa yang kita sebut ‘manusia politik’. Dimana manusia sebagai anggota masyarakat sipil, sebagai partisipan dalam urusan publik. Ia sebagai pelaku kehidupan sosial dan sebagai dasar bagi semua ini adalah makhluk yang rasional dan bermoral.

Kita pun sadar betul bahwa kontribusi utama individu kepada kehidupan publik adalah kepribadiannya yang berkembang. Berkembang sampai terpenuhi segala potensialitasnya.

Dan fungsi pokok negara dalam hal ini adalah sebagai falisitator bagi warga dalam tugas penyempurnaan dirinya maupun komunitasnya. Demikianlah prinsip subsidiaritas dalam rangka membangun kota yang manusiawi.

Pemerintah harus turun tangan pada kepentingan urusan publik (forum-publicum), bukan campur tangan di urusan privat atau pribadi warganya. (***)

14/03/2020
Andre Vincent Wenas, Sekjen Kawal Indonesia – Komunitas Anak Bangsa

2 E1742217937328 1024x833
Img 20250327 Wa0101

Tinggalkan Balasan

Iklan Tri 1536x254
error: Coba Copy Paste ni Ye!!