KORUPSI KOLUSI NEPOTISME dan UU PERAMPASAN ASET

images (5)
Spread the love

Jakarta Pelitanusantara.com Korupsi. Merupakan tindakan seseorang dan kelompok yang menguntungkan serta memperkaya diri sendiri, keluarga, dan juga dan orang-orang dekat.

Tindakan itu, dilakukan [secara sendiri dan kelompok] melalui pengelapan dan penyelewengan; manipulasi data keuangan, data jual-beli, dan lain-lain. Korupsi bisa dilakukan oleh siapa pun, pada semua bidang pekerjaan, kedudukan, jabatan; pada tataran institusi atau lembaga pemerintah, swasta, maupun organisasi keagamaan.

Nah, sisi positifnya, itu tadi, memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok.

Jadi, jika ingin disebut pahlawan (dalam) kelompok -keluarga-parpol-dan mau disebut orang yang baik hati, suka membantu, suka menolong, suka amal, dan seterusnya, _maka korupsi lah anda._

_Toh hasil korupsi (dan banyak uang) bisa menjadikan anda sampai ke/menjadi anggota parlemen, pengurus partai, orang terkenal, dan seterusnya._

Kolusi. Merupakan persepakatan antara dua [maupun lebih] orang ataupun kelompok dalam rangka menyingkirkan orang [kelompok lain], namun menguntungkan diri dan kelompok sendiri.

Biasanya persepakatan itu dilakukan secara rahasia, namun ada ikatan kuat karena saling menguntungkan.

Lamanya suatu kolusi biasanya tergantung keuntungan yang didapat; dan jika merugikan maka ikatan tersebut hilang secara alami.

Kolusi dapat terjadi pada hampir semua bidang pekerjaan dan profesi; politik, agama, organisasi, dan institusi.

Dengan itu, kolusi dapat menghantar pada kepentingan dan demi keuntungan kelompok [misalnya kelompok politik dan SARA] maupun pribadi, sekaligus penyingkiran serta penghambatan terhadap orang lain.

Nah, ada juga sisi positifnya, yaitu adanya kesepakatan yang sangat melekat satu sama lain (karena ada uang hasil korupsi) -kesatuan hubungan- eratnya hubungan yang saling menguntungkan.

Jika anda mau maju dengan cepat, maka tak bisa sendiri, perlu link yang solid. Cara terbaik untuk itu, ya, membuat dan membangun kolusi. Dan hasilnya akan luar biasa bagi diri sendiri dan kelompok.

Nepotisme. Merupakan upaya dan tindakan seseorang [yang mempunyai kedudukan dan jabatan] menempatkan sanak saudara dan anggota keluarga besar, di berbagai jabatan dan kedudukan sehingga menguntungkannya.

Nepotisme biasanya dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan pemerintah lokal sampai nasional; pemimpin perusahan negara; pemimpin militer maupun sipil; serta tokoh-tokoh politik.

Mereka menempatkan para anggota atau kaum keluarganya tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kualitasnya.

Pada umumnya, nepotisme dilakukan dengan tujuan menjaga kerahasiaan jabatan dan kelanjutan kekuasaan; serta terjadi kesetiaan dan rasa takluk dari mereka mendapat kedudukan dan jabatan sebagai balas budi.

Nah, nepotisme juga mempunyai sisi positifnya; Siapa sich (terutama mereka yang mempunyai kuasa dan kekuasaan) yang tak mau sanak-saudaranya mempunyai (ada) jabatan – mempunyai kedudukan – mempunyai tingkat ekonomi yang memadai!? Tentu hampir semua orang inginkan seperti itu. Nepotisme adalah jalan keluar yang baik dan cepat.

Walau, sanak-saudara itu tak punya kualitas, kurang wawasan -tak mampu memimpin, jangan lihat itu, yang penting angkat mereka- taruh mereka di jabatan tertentu (terutama yang bisa korupsi).

Pasti, mereka akan cepat kaya dan banyak uang. Mereka juga akan loyal serta menjadi penjilat.

*Lalu, Apa Jalan Terbaik Berantas KKN, terutama Korupsi*

Jelas, sejak tahun 50an, Negeri Ini sudah berupaya berantas Korupsi. Banyak lembaga dibentuk; banyak cara dilakukan. Tapi, Korupsi tetap ada.

Upaya, terupdate adalah mengggunakan UU Perampasan Aset para Koruptor; atau mereka yang terbukti dengan sah (sesuai keputusan pengadilan dan memiliki keputusan tetap dari MA) melakukan korupsi.

RUU yang diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada 2003, mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC).

RUU prakarsa pemerintah, pernah masuk Prolegnas 2005 – 2009 dan menjadi salah satu dari 31 RUU Prolegnas Proritas 2008.

Pernah masuk Prolegnas 2010 – 2014 dan tercatat sebagai salah satu dari 69 RUU prioritas 2014. Tapi, lagi-lagi, DPR tidak menyentuhnya. Kemudian, RUU itu masuk Prolegnas 2015 – 2019.

Draft UU PA atau pun RUU PA, sejak 2019, bahkan sebelumnya, sudah disodorkan ke Pemerintah. Namun, tak pernah menjadi Priortas di DPR RI, apalagi masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Yang ada, justru draft dari Pemerintah ditolak DPR RI pada tahun-tahun sebelumnya hingga 2023. _DPR berjanji memasukkan ke Prolegnas Prioritas 2022. Namun, DPR justru mencoretnya._

Pemerintah tak putus asa. Presiden RI mengirim Surat Presiden (Supres) ke Dewan Perwakilan Rakyat agar (dan usulkan) pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana (PA-TP), 4 Mei 2023.

_Presiden Joko Widodo meminta agar DPR memberikan prioritas utama untuk pembahasan RUU tersebut, yang sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk menyelamatkan harta negara yang berada di bawah cengkeraman koruptor._

Sayangnya, hingga masa reses 15 Agustus 2023 dan serangkaian Ssmidang Paripurna DPR RI, tidak menyinggung, apalagi membacakan Surpres tersebut. Jadi, terbukti dan fakta bahwa DPR ogah membahas, apalagi menyetujui RUU Perampasan Aset.

Presiden Joko Widodo sempat mengeluh dan menyatakan kekesalannya karena sudah berkali-kali mendesak lembaga wakil rakyat itu, tapi mereka tidak menggubrisnya.

Menurut Presiden, _”Pemerintah tak mungkin terus-menerus mengulangi soal RUU Perampasan Aset itu. Saya meminta publik ikut mendorong DPR agar mau membahas dan menyetujuinya.”_

Rakyat bis mendorong melalui Opini Publik dan juga Aksi Massa. Ups, nanti dulu “semua demo massa membutuhkan dana, setidaknya untuk transportasi, nasi bungkus, dan air mineral.” Siapa yang _nyedianin?_

Bisa-bisa para Koruptor yang siapkan Dana Aksi dari “uang panas” sehingga “jeruk makan jeruk.” Malah muncul spanduk “Turunkan Sokowi.”

*RUU Perampasan Aset Bisa Memiskinkan Koruptor*

Sasaran hukum perampasan aset adalah mengejar pengembalian harta negara yang ditilap dalam tindak pidana korupsi, perpajakan, kepabeanan, cukai, kejahatan ekonomi lain, dan narkoba.

Para koruptor dan pelaku kejahatan bisa dimiskinkan dengan perampasan aset, apabila mereka tidak bisa membuktikan keabsahan perolehannya. Perampasan aset tak mensyaratkan proses peradilan terlebih dahulu.

RUU Perampasan Aset bisa menjadi bagian dari perwujudan keadilan dalam paradigma pemulihan (rehabilitasi). Tanpa UU Perampasan Aset, pelaku korupsi dan keluarganya dapat terus menikmati hasil kejahatan mereka, meski secara pidana pelaku telah menjalani hukuman.

Terpidana bisa bersuka ria di penjara. Mereka dapat “membeli sel serasa hotel”. Berbagai fasilitas dan kenyamanan di bui dapat dibeli. Setelah berakhir masa hukuman, apalagi dengan memborong “obral diskon hukuman,” mereka tetap terus menikmati hasil korupsi yang aman. Soalnya, negara tak bisa menyita selain harta yang disebut dalam sidang peradilan.

Menurut RUU itu, harta ilegal yang dapat dirampas adalah aset hasil tindak pidana korupsi. Termasuk, aset hasil kejahatan yang sudah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau perusahaan, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan.

Aset yang juga bisa dirampas adalah harta yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. Aset lain milik koruptor bisa disita sebagai pengganti harta yang telah dinyatakan dirampas.

Perampasan aset dilakukan apabila harta yang dimiliki tak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang dapat dibuktikan asal-usul perolehannya. Ketentuannya, nilai aset yang layak disita sedikitnya Rp 100 juta.

Khalayak pasti berharap ada UU atau Perpu Perampasan Aset untuk menyelamatkan harta negara yang ditilap oleh para koruptor dan mencegah merajalelanya koruptor baru.

Rakyat tidak akan keberatan karena sasaran UU atau Perpu itu adalah para koruptor dan pelaku kejahatan.

Hanya para koruptor yang menghalang-halangi atau bahkan mati-matian menentang UU Perampasan Aset. Mereka khawatir dimiskinkan, sampai ibarat kata “tinggal pakai celana kolor”.

*Negara Merampas Melalui Kejaksaan Agung*

Menurut RUU PA, yang mendapat kewenangan melakukan perampasan aset adalah Jaksa Agung. Maka, ada pasal yang mengatur kewenangan Jaksa Agung dalam melakukan perampasan aset yang dikuasai koruptor atau pelaku tindak pidana.

Kejaksaan mendapat wewenang untuk merampas aset dengan atau tanpa pemeriksaan peradilan. Selama ini tak ada UU tentang perampasan aset. Kondisi itu sering sering dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan atau koruptor untuk menyembunyikan hasil korupsinya.

UU atau Perpu Perampasan Aset pasti akan membuat para koruptor was-was, terutama yang belum terjamah oleh operasi tangkap tangan (OTT) KPK atau diperiksa aparat hukum.

Kejaksaan bisa saja mengusut harta hasil korupsi, tanpa menunggu penyidikan atau proses peradilan. Begitu seseorang tak bisa membuktikan asal-usul perolehan hartanya secara sah, kejaksaan bisa menyita harta mereka.

(Opa Jappy | Lurah Komunitas Indonesia Hari Ini), WA, +62 81 81 26 858

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!