Yogyakarta – Dalam rangka memperingati hari Kartini, para istri perupa Yogyakarta yang tergabung dalam wadah organisasi Ikaisyo singkatan dari Ikatan Istri Senirupawan Yogyakarta adakan pameran lukisan hasil mewarnai sketsa Tino Sidin. Pameran yang berlangsung Senin 21 April – Sabtu 31 Mei 2025 diadakan di Museum Taman Tino Sidin Jl. Tino Sidin No.297, Kadipiro, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Museum Taman Tino Sidin, adalah museum khusus yang menyimpan koleksi karya dari Tino Sidin. Peresmian museum tersebut dilakukan pada tanggal 4 Oktober 2014 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Museum ini digunakan sebagai tempat kegiatan seni bagi anak-anak.
Pameran dibuka oleh Ketua IWAPI Bantul Erwin Yuniarti SH, MM. Dalam sambutannya Erwin Yuniarti menyampaikan bahwa pameran yang dilakukan oleh Ikaisyo ini memperkuat program 1000 Srikandi di Bantul. Program 1000 Srikandi itu dilakukan dengan mengadakan pelatihan dan pendampingan bagi para pelaku usaha UMKM di bidang kriya dan kesenian di Bantul. Erwin Yuniarti dalam kesempatan itu juga turut melakukan aktivitas mewarnai pada gambar sketsa yang telah disediakan.
Aktivitas Sederhana yang Berdampak
Akhirnya, apa yang diimpikan saat Sabtu 15 Maret 2025 lalu, ketika Ikaisyo mengadakan acara Ngabuburit di Nasirun Studio yang diisi dengan acara mewarnai gambar sketsa Pak Tino Sidin terlaksana. Kegiatan yang diisi dengan para anggota Ikaisyo mewarnai sketsa Pak Tino Sidin dan direncanakan dipamerkan pada bulan Syawal terlaksana.
“Suasananya seru dan menyenangkan. Rencana hasil karya akan dipamerkan April mendatang di Museum Taman Tino Sidin pada saat hari Kartini, sekaligus Syawalan,” demikian ujar Titik Tino Sidin, anak kelima pelukis Tino Sidin saat itu.
Menurut Titik Tino Sidin yang adalah Ketua Ikaisyo saat itu, bahwa kegiatan mewarnai gambar Pak Tino Sidin bagi Ikaisyo itu sebagai upaya refreshing sekaligus terapi dan pengisi waktu yang positif.
Bagi seorang kurator, Prof. Martinus Dwi Marianto MFA., Ph.D kegiatan mewarnai tersebut tidak boleh dipandang remeh.
Mewarnai gambar atau melukis bagi orang-orang dewasa, apalagi bagi orangyang sudah senior menurutnya bukanlah perkara sepele. “Sebab tidak semua orang dapat atau boleh menggambar dengan leluasa. Ada suatu pola asuh budya yang dapat yang tidak memperbolehkan seorang wanita atau seorang istrimenggambar atau melukis tanpa izin suami,” demikian catatan Dwi Marianto. Dwi Marianto pun melihat proses kreatif mewarnai para ibu anggota Ikaisyo itu, “Ada orang yang ketika ketika kecil tidak punya kesempatan untuk mewarnai, apalagi menggambar bebas. Ada yang kurang antusias ketika diajak mewarnai gambar. Ada pula yang tadinya tidak berminat, tetapi berjalannya waktu ia jadi semangat. Ada yang tidak punya kesempatan. Apalagi barangkali yang sudah jadi oma, maka dianggap ‘nyaingi’ cucunya. Ada pula yang sebenarnya dulusebenarnya ingin sekali menggambar guna mengekspresikan diri, atau mengaktualisasikan diri, namun karena ada sesuatu yang bersifat khusus atau private, ia mengurungkan niat menggambarnya,” demikian Dwi Marianto menyampaikan pengamatannya.
“Karya-karya mewarnai walau sederhana adalah lubang pelepasan bagi hasrat yang terpendam,” demikian ujar Dwi Marianto.
Mewarnai Bukan Hal yang Mudah
Mewarnai meski menurut anggapan sementara orang sangat mudah, namun melihat pameran Ikaisyo kali ini bisa diambil kesimpulan bahwa kegiatan mewarnai sketsa tersebut tidaklah mudah. Mewarnai ternyata melibat perasaan keindahan warna kontras dan gradasinya dan rasa estetika.
Ada beberapa ibu anggota Ikaisyo yang mewarnai lukisan dengan judul yang sama. Tetapi toh hasilnya terlihat berbeda. Ambil contoh saja lukisan dengan tema “semut dan anak ayam”. Ada empat orang yang mewarnai gambar tersebut, yakni: Titiana Irawati, Atik Godod Sutejo, Lulu Lohmuna, dan Irah Banubono yang kesemuanya mewarnai dengan menggunakan crayon. Coba perhatikan, berbeda kan pilihan warnanya? Titiana Irawati mewarnai anak ayam berkepala hitam bertubuh hijau bersayap kuning dan semut hitam, Atik Godod Sutejo anak ayam kuning serta semut biru, Lulu Lohmuna ayam merah dan semut coklat, dan Irah Banubono anak ayam kepala hijau tubuh kuning sayap serta ekor hijau semut coklat muda.
Atau tema lukisan “gurita” yang diwarnai oleh Nonik Pratiwi dengan crayon, Titik Tino Sidin dengan crayon, dan Ilah Nasirun dengan cat air. Nonik Pratiwi mewarnai gurita dengan dominasi warna ungu, Titik Tino Sidin dengan dominasi warna orange, sedangkan Ilah Nasirun kuning dan orange.
Bukan soal siapa yang paling bagus memilih warna, tetapi barangkali pilihan warna mereka menunjukkan warna-warna favorit para ibu itu atau pemilihan warna terpengaruh dengan pilihan warna suami mereka ketika sedang melukis sebuah karya.
Harapan Bisa berlanjut
Prof. Martinus Dwi Marianto MFA menyebutkan bahwa kegiatan semacam ini, perlu dilanjutkan dengan ide dan konsep yang baru. Bisa saja dengan kegiatan lomba membaca puisi, menari, berbusana sesuai mimpi masa kecil, karaoke, atau apa saja yang dapat membongkar hal-hal atau potensi yang masih terus bergejolak di bawah permukaan kesadaran minta dibebaskan.
Seorang peserta pameran, Atik Godod Sutejo, istri pelukis Godod Sutejo alm, berpendapat senada dengan Prof. Martinus Dwi Marianto MFA bahwa kegiatan mewarnai dan kemudian dipamerkan itu bisa berlanjut, karena kegiatan semacam itu bermanfaat sebagai terapi menambah usia.
“Kegiatan seperti ini menjadi salah satu terapi ibu-ibu untuk tambah usia. Semoga kegiatan seperti ini dapat berkelanjutan,” demikian Atik Godod Sutejo.
Sementara seorang pengunjung menyampaikan bahwa aktivitas mewarnai dan melakukan pameran dapat menjadi wahana yang efektif dapat mengurangi stress, kecemasan, meningkatkan konsentrasi, membantu mengatasi trauma serta menumbuhkan rasa senang.
Oleh: Suyito Basuki