Tunggul Wulung cariyos puniki
Kyai Ngabdulah swau ingkang asma
Ingkang luhur bebudene
Ngupadi tentremipun
Marang urip kang sejati
Nyingkur mring kadrajadan miwah bandha bandhu
Den upadi saprakara
Amung celak mring Hyang Maha Suci
Luwar saking piala
Minggah Redi Kelud lan semedi
Kang den pinta raharjaning sukma
Gya pinanggih mring mitrane
Samya muja tumelung
Katentreman den upadi
Antuk wisik Kang Murba den waos puniku
Sadasa prentah Allah
Saka kitab Toret Pangentasan niki
Ndadosken mratobatnya
Sekar macapat Dhandhang Gula di atas saya buat dan saya tembangkan saat mengawali tayangan film dokumenter Tunggul Wulung yang diproduksi oleh Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) Indonesia tahun 2023. Tembang macapat tersebut mengisahkan tentang seorang pribumi yang bernama Kyai Tunggul Wulung yang legendaris, khususnya di percakapan gereja-gereja mennonit di sekitar Gunung Muria daerah Pati, Kudus, Jepara Jawa Tengah.
Kyai Tunggul Wulung adalah seorang tokoh legendaris yang hidup di hati orang-orang di kota Jepara, Kudus, Pati, Mojowarno, Malang dan beberapa kota lainnya. Di lingkungan jemaat Kristen di daerah sekitar Gunung Muria Kudus Jawa Tengah, Kyai Tunggul Wulung ini dikenal sebagai penginjil asli Jawa. Terlebih Kyai yang menurut catatan seorang missionaris misi Menonit, Pieter Jansz, memiliki watak temperamen berbadan tinggi besar dan tegap ini, adalah salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro.
Kyai Tunggul Wulung ini saat membantu perang Diponegoro (1825-1830) memiliki nama Demang Padmodirdjo. Demang Padmodirdjo ini saat kecil bernama Raden Tondho, yang adalah keturunan Mangukenagaran Surakarta dari garwa selir. Saat dewasa bernama Padmodirdjo dan menjadi demang di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Panggilan jiwanya membela tanah kelahirnannya, maka ia kemudian bergabung dengan Pangeran Diponegoro, tokoh yang saat ini menjadi pahlawan nasional Repunlik Indonesia.
Sebagaimana diketahui, bahwa akibat diperdaya oleh seorang Jendral Belanda, Hendrik Marcus de Kock, maka Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang di Sulawesi. Hal ini mengakibatkan para prajuritnya buyar, mencari keselamatan masing-masing. Demang Padmodirdjo dalam pelariannya sampailah di sebuah daerah yang termasuk kabupaten Pati, daerah itu bernama Juwana. Untuk menghilangkan jejak, maka Demang Padmodirdjo mengganti namanya dengan Ahmad Dullah atau Kyai Ngabdulah. Kyai Ngabdulah ini kemudian memiliki kehidupan yang layak secara sosial dan ekonomi. Tetapi kehidupan tersebut tidak memuaskan dirinya.
Dalam usaha pencarian jati dirinya, Kyai Ngabdulah belajar kekristenan kepada seorang tenaga misionaris Bruckner dan kawan-kawannya dari missi (Nederlandsch Zendeling Genoot-schap) NZG di Semarang. Hal ini kemudian berlanjut dengan “laku”-nya sebagai orang Jawa yang gandrung dengan kerohanian, dengan bertapa di Gunung Kelud Jawa Timur. Dalam pertapaannya itulah, Kyai Ngabdulah mengganti namanya dengan nama Kyai Tunggul Wulung. Adapun nama Tunggul Wulung itu sebenarnya nama Senopati pada Kerajaan Kediri pemerintahan Prabu Joyoboyo lebih kurang 1150 M. Namun ada yang mengartikan nama Tunggul Wulung itu adalah nama makhluk gaib penunggu kawah Gunung Kelud.
Dalam pertapaannya, Kyai Tunggul Wulung bertemu dengan seorang bangsawan putri Kediri yang bernama Endang Sampurnawati. Dikisahkan bahwa Endang Sampurnawati ini suka sekali bertapa. Hal ini dilakukannya untuk mencari jati diri dan ketenangan hidupnya. Kedua tokoh ini kemudian bertapa bersama-sama. Menurut sebuah buku sumber, pada saat mereka bertapa itulah, mereka mendengar sebuah bisikan atau wangsit supaya membaca sesuatu. Setelah mereka cari, maka mereka menemukan sebuah tulisan di sebalik tikar yang mereka gunakan bertapa, tulisan hukum 10 perintah Allah yang di dalam kitab Injil tertulis dalam Keluaran 20:1-17.
Setelah membaca ayat itu, mereka kemudian turun gunung ke kota Mojowarno yang saat itu ada seorang missionaris yang bernama J.E. Jellesma, utusan NZG di Mojowarno. Mereka kemudian berguru kepada Jellesma tentang ngelmu Kristen. Ada kisah unik, saat Jellesma mengajar, Tunggul Wulung datang dengan aji panglimunan, sehingga tidak diketahui oleh orang banyak. Namun saat jemaat pulang, Jellesma mendekatinya dan menegurnya. Tunggul Wulung merasa ngelmunya telah dikalahkan. Adapun Tunggul Wulung datang ke rumah Jellesma karena sinar ajaib yang ternyata bersumber dari rumah Jellesma. Ternyata sinar ajaib itu berasal dari kitab yang tengah dibaca oleh Jellesma. Setelah beberapa bulan belajar, kemudian mereka mewartakan Injil kepada orang-orang di daerah Malang dan sekitarnya.
Setelah dibaptis oleh Jellesma, Kyai Tunggul Wulung mendapatkan imbuhan nama baptis Ibrahim, maka mereka pun berdua yang telah berstatus sebagai suami dan istri, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan Nyi Endang Sampurnawati melakukan perjalanan yang mereka sebut “tapa ngrame” dengan cara berbuat baik dan memberitakan kabar sukacita, Injil kepada masyarakat yang mereka temui hingga kemudian mereka membuka hutan untuk pemukiman di daerah Ujung Jati dan Bondo Jepara. Selain pemukiman, mereka juga membuka sebuah pasamuwan di daerah Bondo Jepara. Selain itu dalam perjalanan pelayanannya, Kyai Tunggul Wulung juga membuka pelayanan di Banyutowo dan Tegalombo yang termasuk wilayah Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Oleh: Suyito Basuki