Kutai Barat, – Sidang pembacaan pledoi dalam perkara terdakwa Eronius Tenaq, yang diwakili oleh Penasehat Hukum Yahya Tonang, kembali menarik perhatian publik. Sidang ini berlangsung di Pengadilan Negeri Kutai Barat dengan dihadiri oleh banyak pengunjung dari berbagai daerah di Kabupaten Kutai Barat. Dalam sidang yang diadakan pada Rabu, 19 Maret 2025, Penasehat Hukum Eronius Tenaq membacakan pembelaan dengan menyampaikan berbagai argumentasi yang menantang dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Pledoi Penasehat Hukum: Mengungkap Ketidakjelasan Dakwaan
Yahya Tonang memulai pembacaan nota pembelaan dengan menyampaikan penghormatan kepada Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum yang hadir di persidangan. Ia juga memperkenalkan diri sebagai Penasehat Hukum dari Perkumpulan Advokat Indonesia (Pobakumandin) yang bertugas memberikan pembelaan untuk Eronius Tenaq.
“Tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada 12 Maret 2025, menyatakan bahwa saudara Eronius Tenaq, anak dari Y. Tenaq (Alm), didakwa dalam dakwaan alternatif kedua dengan melanggar Pasal 263 Ayat (2) KUHP,” ujar Yahya Tonang. “Kami sangat percaya bahwa Majelis Hakim akan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab untuk mencari keadilan.”
Penasehat hukum tersebut menekankan bahwa pembelaan ini diajukan untuk membuktikan bahwa dakwaan terhadap Eronius Tenaq tidak memiliki dasar yang kuat. Salah satu poin utama yang disampaikan adalah terkait dengan alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yaitu Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) atas nama Y. Tenaq yang diduga dipalsukan. Menurut penjelasan ahli pidana yang dihadirkan oleh Jaksa, surat tersebut dianggap palsu karena mengandung dua keterangan yang tidak benar, yang merugikan saksi Widodo.
Namun, menurut Penasehat Hukum, surat dakwaan tersebut kabur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. “Bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sudah dibuktikan dalam sidang perdata sebelumnya, yaitu perkara nomor 12/Pdt G/2012/PN Kubar, yang memutuskan status tanah ini dengan ‘Niet Ovenkelijke Verklard’ (NO),” jelas Yahya Tonang.
Pendapat Ahli yang Membantah Pemalsuan
Dalam sidang, Penasehat Hukum juga menghadirkan pendapat dari ahli hukum pidana, Dr. Aris Irawan, SH., MH, yang memberikan penilaian berbeda mengenai tuduhan pemalsuan. Dr. Aris Irawan menyatakan bahwa dalam konteks pemalsuan surat, isi atau keterangan dalam surat tersebut tidak dapat dianggap palsu, karena surat yang dimaksud bukanlah akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP.
“Menurut ahli, yang dirugikan dalam pemalsuan surat adalah institusi yang mengeluarkan surat tersebut. Dalam hal ini, alat pembanding haruslah surat yang dikeluarkan oleh institusi yang sama. Dalam kasus ini, surat SPPT yang disebutkan oleh Jaksa tidak memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai surat palsu, karena proses administrasinya sudah dilakukan dengan benar oleh terdakwa,” ujar Dr. Aris Irawan.
Lebih lanjut, ahli juga menjelaskan bahwa jika SPPT yang diajukan dianggap sebagai surat palsu, maka harus dibuktikan bahwa proses pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jika sudah sesuai, maka surat tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai surat palsu.
Tanggapan terhadap Bukti yang Hilang
Salah satu bagian yang paling menarik perhatian dalam pembacaan pledoi adalah kritik terhadap hilangnya sejumlah bukti yang sebelumnya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Yahya Tonang dengan tegas mempertanyakan hilangnya fotokopi peta penempatan transmigrasi dan beberapa bukti lainnya yang sebelumnya telah diserahkan pada pengadilan. Ia menyatakan keheranannya dengan kejadian ini, terutama karena bukti-bukti tersebut telah disertakan dalam berkas perkara.
“Ketika tuntutan dibacakan, banyak bukti yang hilang begitu saja. Fotokopi peta penempatan transmigrasi, putusan perdata, dan berbagai dokumen penting lainnya tidak muncul lagi. Kemana hilangnya bukti-bukti tersebut?” tanya Yahya Tonang, yang menilai hal ini sebagai sebuah kejanggalan yang patut dipertanyakan.
Penasehat Hukum juga menegaskan bahwa, berdasarkan Pasal 66 KUHAP, beban pembuktian terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Dengan hilangnya bukti yang seharusnya mendukung dakwaan, Yahya Tonang berpendapat bahwa keputusan Hakim seharusnya tidak dapat didasarkan pada bukti-bukti yang tidak jelas atau bahkan hilang.
Kesimpulan dan Harapan Keadilan
Menutup pembacaan pledoinya, Yahya Tonang kembali menegaskan keyakinannya bahwa Majelis Hakim akan memberikan keputusan yang adil dan objektif. Ia meminta agar Majelis Hakim mempertimbangkan semua bukti yang ada, termasuk putusan sebelumnya dalam perkara perdata yang sudah jelas menunjukkan bahwa tanah yang kini dipermasalahkan telah dinyatakan tidak berlaku hukum (NO).
“Kami berharap Majelis Hakim dapat membuat keputusan yang mencerminkan keadilan, berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan ini,” kata Yahya Tonang, dengan harapan agar pembelaan yang disampaikan dapat membuka mata hukum dan mengungkapkan kebenaran di balik perkara ini.
Sidang ini pun dihadiri dengan penuh ketegangan oleh pengunjung yang terdiri dari warga berbagai daerah di Kabupaten Kutai Barat. Kini, perhatian tertuju pada Majelis Hakim yang akan memutuskan nasib Eronius Tenaq, dalam sebuah perjuangan yang tidak hanya melibatkan persoalan hukum, tetapi juga pencarian keadilan yang sejati. [MM]