“POPULISME TRUMP MEMBAKAR DEMOKRASI”

Kefaspelita
Whatsapp Image 2021 01 09 At 14.57.15
Spread the love

Pelitanusantara.com | “SEJUMLAH Pemimpin dunia diindentifikasi sebagai populis. Mereka, antara lain Presiden AS Donald Trump, konselir Austria Sebastian Kurz, Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Hongaria Victor Orban, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Filipina Rodrigo Puterte, Presiden Brazil Jaia Bolsonaro, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Perdana Menteri India Narendra Modi.

Para pemimpin populis itu terpilih dalam pemilu demokratis, tetapi karena menerapkan populisme, mereka membawa demokrasi pada resesi dan kemunduran. Orban, misalnya, membawa demokrasi liberal ke demokrasi iliberal. Modi dengan Populisme hindu-nya membatasi hak-hak kaum muslim di India. Erdogan dengan Populisme Islamnya menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara brutal. Ini menjadi bukti betapa Populisme bertentangan dengan demokrasi.

Para pemimpin populis biasanya menolak hasil pemilu demokratis ketika mereka kalah. Itulah yang dilakukan Presiden Donald Trump. Trump kalah dari Joe Biden dalam pilpres AS 2020. Namun, Trump menolak kemenangan Biden. Trump menolak hasil pemilu demokratis.

Penolakan Trump atas kemenangan Biden memicu pendukungnya menduduki United States Capitol. Trump memobilisasi pendukungnya untuk menolak hasil pemilu demokratis. Mereka menggunakan kekerasan untuk menerobos Gedung Kongres AS itu. Sejumlah orang tewas dan belasan ditangkap dalam huru-hara yang berlangsung 6 Januari 2021 itu. Trump menempatkan ‘rakyat’ pendukungnya berhadap-hadapan dengan Biden sebagai elite. Populisme ialah Politik yang menempatkan rakyat berhadap-hadapan dengan elite.

Dunia menyindir AS sebagai negara Kampiun demokrasi. Media-media internasional menurunkan judul, antara lain demokrasi dibawah kepungan, pendukung Trump menghantam jantung demokrasi AS, Trump membakar Washington, dan kudeta gila. Surat kabar Die Welt dalam tajuknya menyebut pendudukan US Capitol memalukan demokrasi AS. The Guardian menyebut peristiwa itu tantangan paling dramatis bagi demokrasi AS sejak perang saudara.

Pemberitaan berbagai media itu mengisyaratkan perilaku populis Trump dan pendukungnya menolak hasil pemilu demokratis telah mencederai demokrasi. Itu semua menunjukkan Populisme bertentangan dengan demokrasi.

Di Indonesia, Prabowo Subianto menolak hasil pemilu Presiden 2014 dan 2019. Selain memperkarakan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi, Prabowo memobilisasi pendukungnya berunjuk rasa ke MK, Komisi Pemilihan Umum, serta Badan Pengawas Pemilu. Untungnya mereka tidak punya cukup nyali menduduki Gedung Parlemen. Memobilisasi massa itu memantik kerusuhan. Serupa Trump, Prabowo memosisikan ‘rakyat’ pendukungnya berhadapan dengan Jokowi sebagai elite.

Para pakar mengategorikan Prabowo sebagai Tokoh populis. Indikatornya, antara lain Prabowo menggunakan populisme agama, idiom-idiom agama, untuk menyerang rivalnya, Jokowi. Prabowo, memosisikan Jokowi sebagai elite berhadap-hadapan dengan umat. Menolak hasil pilpres menambah kental ‘karakteristik’ populis Prabowo.

Pemimpin demokratis, meski kalah, segera mengucapkan selamat kepada pemenang, bahkan hanya berdasarkan hasil hitung cepat.

Hillary Clinton mengucapkan selamat kepada Trump pada Pilpres 2016 di AS. Yusuf Kalla mengucapkan selamat kepada Susilo Bambang Yudhoyono pada pilpres 2009 di Indonesia.

Para pemimpin populis menolak hasil pemilu demokratis biasanya dengan alasan rivalnya berlaku curang. Trump menuduh Biden curang. Prabowo menuding Jokowi curang. Itu artinya Pemimpin populis menggambarkan rival mereka melanggar aturan tatanan yang ada. Ini sesungguhnya ajakan atau memobilisasi para pendukung mereka untuk menolak dipimpin rival mereka.

Perilaku menolak hasil pemilu demokratis dan menggambarkan rival mereka melanggar tatanan, menurut Levitsky dan Ziblatt mengatakan itu dalam buku “How Democracies Die”. Memakai jalan pikiran kedua penulis, kita bisa katakan Populisme dan Otoritarianisme sebelas – dua belas, setali tiga ruang, serupa.

Bahkan, banyak yang menyetarakan Populisme dengan Fasisme. Medeleine Albright dan Jason Stanley, misalnya, menyebut Populisme tak ubahnya Fasisme. Harian Italia La Repubblica menganalogikan pendudukan US Capitol di AS dengan naiknya Benito Mussolini ke tampuk kekuasaan Italia. Mussolini seorang Fasis.

Karena Populisme anti demokrasi, otoriter, dan Fasis, kita selayaknya menolaknya. Mike Pence, calon wakil presiden pendamping Trump, sekalipun menolak Perintah Trump menghalangi pengesahan kemenangan Joe Biden.

P. Sirait.

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!