Konsepsi Miranda Rule Dalam Sistem Hukum Peradilan Pidana Di Indonesia Menurut Ass. Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE

Kefaspelita
Img 20210707 Wa0088
Spread the love

Pelitanusantara.com Jakarta – Istilah Miranda Rules sebenarnya merupakan suatu prinsip hukum acara pidana di Amerika Serikat yang berasal dari kasus Miranda vs Arizona pada tahun 1966 yang akhirnya menimbulkan amandemen kelima Piagam Hak Asasi Manusia.

Konsepsi Miranda Rules kemudian diadopsi oleh banyak negara hukum di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam sistem hukum nasional, konsepsi Miranda Rules dapat ditemui dalam instrumentarim peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peradilan, diantaranya:

a. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (diatur dalam Bab VI : Pasal 69 sampai dengan Pasal 74)
c. Undang-Undang Nomot 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Pasal 22 ayat (1) dan (2) )
d. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 56 dan Pasal 57).

Secara lebih sistematis konsep Miranda Rules terdapat dalam beberapa pasal yang tercantum dalam KUHAP, diantaranya:
a. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa, pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

b. Pasal 51 KUHAP menyebutkan bahwa, untuk mempersiapkan pembelaan :
(a) tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tetang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai; (b) terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.

c. Pasal 52 KUHAP menyebutkan bahwa, dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim

d. Pasal 54 KUHAP menyebutkan bahwa, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini

e. Pasal 55 KUHAP menyebutkan bahwa, untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.

f. Pasal 56 KUHAP :
1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat ayng bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , memberikan bantuannya dengan cuma-Cuma.

g. Pasal 57 KUHAP :

1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini

2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

Meskipun secara substansi pengaturan mengenai Miranda Rules telah diadopsi dalam sistem hukum nasional dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum pidana, namun hal tersebut masih berada dalam tataran teoritik.

Berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadikan pengaturan mengenai hak tersangka dalam Miranda Rules hanya bernilai semantic semata.

Sejauh ini banyak ditemukan kasus pengabaian terhadap keberadaan Miranda Rules yang kemudian menimbulkan kerugian berupa ternegasikannya hak-hak tersangka.

Penegakan Miranda Rules dalam Tatanan Praktik.

Sebagai salah satu entitas penting dalam sistem peradilan pidana, Miranda Rules memberikan jaminan pelaksanaan dan perlindungan terhadap hak tersangka dalam proses pemeriksaan oleh pejabat yang bersangkutan.

Penegakan Miranda Rules menjadi titik sentral keabsahan pemeriksaan dan pernyataan yang diberikan oleh tersangka. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menjadikan Miranda Rules diimplementasikan secara sempurna dalam berbagai kasus konkrit. Faktaya , masih banyak dijumpai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkenaan dengan Miranda Rules. Diantara pelanggaran-pelangaran tersebut adalah
:

a. Banyak oknum polisi yang menangkap tersangka dan langsung melakukan interogasi tanpa terlebih dahulu mengingatkan akan hak-haknya sebagai tersangka.

b. Dalam rangka penyelidikan, terdapat beberapa oknum polisi yang melakukan interogasi kepada seseorang yang diduga ada kaitannya dengan perkara pidana yang ditanganinya

c. Dalam rangka penyidikan, banyak oknum polisi memaksa tersangka untuk mengakui perbuatannya dengan cara apapun termasuk cara kekerasan

d. Dalam rangka untuk memperlancar proses penyidikan, banyak oknum polisi yang berupaya agar setiap tersangka sebaiknya tidak menggunakan penasihat hukum, ada juga kemitraan Polisi dengan Pengacara yang ditunjuknya hanya untuk pelengkap Undang-undang dan menggugurkan pasal 56 KUHAP saja, artinya yang sering terjadi Pengacara hanya sebagai aksesoris saja tanpa melakukan pembelaan hukum yang maksimal terhadap kliennya.

e. Dengan dalih tersangka tidak memiliki sejumlah uang dan hak asasi sebagai tersangka, beberapa oknum polisi menganjurkan agar tersangka tidak menggunakan penasihat hukum dan membuatkannya pernyataan tidak bersedia didampingi oleh penasihat hukum.

f. Dengan tidak adanya penasihat hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, maka banyak penyidik mengabaikan kewajiban sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP

g.Tidak adanya anggaran Intitusi Kepolisian yang diperuntukkan untuk menyediakan penasihat hukum bagi tersangka Pelanggaran terhadap Miranda Rules juga membawa akibat hukum pada pembebasan tersangka dari tahanan dikarenakan sejak awal proses penangkapan yang tanpa memberitahukan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka dinyatakan batal demi hukum. Sehingga proses penyidikan itu sendiri menjadi tidak sah. Proses penuntutan juga menjadi tidak diterima karena dilandaskan pada berita acara penyidikan yang tidak sah dan batal demi hukum.

Proses penuntutan terhadap pelanggaran Miranda Rule dapat dilakukan melalui instrument PraPeradilan.

kedepan penulis berharap Keberadaan Miranda Rules dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seharusnya mampu difungsikan sebagai mekanisme control, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan, serta kekejaman yang dilakukan oleh penegak hukum yang dapat menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Cita-ciita hukum berupa terselenggaranya kehidupan hukum yang serasi dan harmoni harus didukung dengan adanya struktur hukum yang bersih dari segala bentuk upaya penegasian hak asasi manusia, sehingga tiada hukum tanpa perlindungan hak asasi manusia dapat diwujudkan secara konsekuen. ( Nena.M )

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!