Kiprah Sularso Sopater di tengah Pejuang Gerilya

IMG-20241112-WA0036
Sularso Sopater (foto: PGI)
Spread the love

Pelitanusantara.com Minggu 10 November 2024 kemarin kita memperingati hari Pahlawan. Kita diingatkan bagaimana rakyat mengusir tentara sekutu, khususnya di kota Surabaya Jawa Timur. Berikut sekelumit kisah saja, tentang seorang hamba-Nya Pdt. Em. Prof. Sularso Sopater, Ph.D, di masa remaja yang membantu para gerilyawan di Yogyakarta saat melawan tentara penjajah Belanda.

Saya bersyukur bisa mengenal dekat Pdt. Em. Prof. Sularso Sopater, Ph.D ini. Kami sejak tahun 2010, tergabung menjadi tim revisi Alkitab Bahasa Jawa Formal Perjanjian Lama yang diprakarsai oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dia saya kenal sebagai pribadi yang menarik, rendah hati dan selalu bersemangat dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan di lingkungan gereja. Oleh karena itulah saya kemudian meminta ijin kepadanya supaya dapat menulis biografinya. Akhirnya buku biografinya diterbitkan oleh Taman Pustaka Kristen (TPK) Yogyakarta di tahun 2014 dengan judul: Biografi Pdt. Em. Prof. Dr. Sularso Sopater, Nabi Bisu yang Banyak Bekerja. Sularso Sopater menyelesaikan program studi masteral di Calvin Theological Seminary di Grand Rapids, Michigan, USA (tahun 1975–1976) dan program doktoral (S3) di STT Jakarta tahun 1983 dengan disertasi berjudul “Inti Ajaran Aliran Valentinian dan Inti Ajaran Aliran Pangestu (Suatu Pembandingan)”.

Tanggal 9 Mei ini adalah hari kelahiran Sularso Sopater, seorang tokoh gereja dan tokoh nasional. Saya katakan tokoh gereja karena sebagai seorang pendeta Gereja Kristen Jawa, yang ditahbiskan di GKJ Gondokusuman Yogyakarta tahun 1960 pernah menjadi Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia) (1989, 1984-2000), serta banyak berkiprah di pelayanan sekolah-sekolah teologia hingga akhir hidupnya.

Saya sebut sebagai tokoh nasional karena Sularso Sopater pernah menjabat antara lain sebagai anggota MPR (1987-1992), DPA91993-2003), dan BPPN (1989-1998) dan lain-lain, pada zaman pemerintahan Presiden Suharto. Masa remaja Sularso, demikian panggilan singkatnya, juga terlibat dalam peperangan gerilya secara tidak langsung, karena ia menjadi kurir kebutuhan logistik untuk pasukan gerilya di Yogyakarta, dimana Radius Prawiro yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan di era Presiden Suharto juga termasuk dalam pasukan gerilya tersebut.

Lahir dari Keluarga Pendeta

Sularso lahir di malam hari, tanggal 9 Mei tahun 1934 di Yogyakarta dari pasangan Pdt. Ponidi Sopater dan Soekinah. Ia lahir di rumah pastori atau rumah dinas pendeta, yang di kemudian hari rumah tersebut digunakan Taman Pustaka Kristen yaitu Lembaga penerbitan sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan saat ini dirombak bangunannya menjadi unit usaha Mal Galeria yang merupakan kerja sama kemitraan antara GKJ Gondokusuman atau sering disebut juga GKJ Sawokembar dengan keluarga Radius Prawiro.

Ponidi Sopater adalah pendeta pertama untuk GKJ Gondokusuman Yogyakarta. Selain itu, Ponidi Sopater juga sekaligus pendeta pertama di lingkungan Sinode GKJ. Sebelumnya tenaga pelayan gereja yang ada adalah Guru Injil yang membantu pelayanan pendeta utusan zending Belanda. Ponidi ditahbiskan sebagai pendeta GKJ Gondokusuman Yogyakarta pada 29 April 1926.

Soekinah adalah seorang anak Rangga Kartapoesara, pengawal istana kasunanan Surakarta. Soekinah masih punya darah bangsawan, masih keturunan grad ke-8 dari Kanjeng Sunan Amangkurat Kartasura (nama lengkap beliau: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Kartasura) Sularso ketika bocah, suka memanggil Soekinah dengan sebutan “mbok”, sebuah sebutan umum anak kepada ibunya zaman itu. Namun saat Ponidi, sang ayah meninggal di kemudian hari, pakdhe-pakdhenya (kakak-kakak lelaki ibunya) menyarankan supaya Sularso memanggil ibundanya dengan sebutan “ibu” karena masih keturunan darah bangsawan itu.

Sularso lahir sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara. Mungkin faktor menjadi anak bungsu inilah, Sularso lebih dekat dengan ibunya dari pada ayahnya. Oleh karenanya Sularso sering mendapat ledekan sebagai “anak simbok”. Wajah Sularso separo mirip sang ayah, separo mirip sang ibu. Postur tubuh mengikuti Ponidi sang ayah, paling tinggi di antara saudara. Dalam usia dewasa tinggi Sularso mencapai 171 cm.

Membantu Tentara Gerilya

Keremajaan Sularso adalah sebuah berkah. Sularso dengan wajah dan perawakan remajanya, tidak dicurigai oleh tentara Belanda. Oleh karena itulah, Sularso kemudian menjadi kurir logistik. Sularsolah yang disuruh oleh ibunya mengantar kebutuhan sehari-hari kepada kakaknya, Basuki dan Marmohadi dan juga teman-temannya di Brigade 17. Ia biasanya pergi bersama temannya Tono Amboro yang adalah adik dari kawan satu regu abangnya (Tono Amboro kelak menjadi perwira polisi). Sularso menyembunyikan perlengkapan mandi, obat-obatan, surat-surat, tembakau dan kebutuhan lain di balik bajunya. Sambil membawa alat pancing, supaya ada kesan seolah-oleh akan pergi memancing, Sularso melintasi pos-pos penjagaan yang letaknya di pertigaan jalan Magelang dan jalan Cemara Jajar bagian ujung di wilayah Jetis. Di pos penjagaan itu, tentara Belanda bersiaga jaga dengan membawa senjata laras panjang dengan bayonet terpasang dalam sikap siap tempur! Sularso berkali-kali melintasi pos penjagaan tersebut, tidak pernah diperiksa dan dia selalu selamat!

IMG-20241112-WA0037
Buku Biografi Sularso Sopater (foto: Satu Harapan)

Kalau ia tiba di markas TP, maka ia disambut dengan sukacita oleh para anggota TP. Setelah menerima barang bawaan Sularso, anggota TP kemudian ada yang segera membuat rokok lintingan (tingwe=nglinthing dhewe, Jw.). Kemudian satu rokok tingwe dihisap secara bergantian, supaya hemat. Keterlibatan Sularso sebagai “kurir logistik” inilah yang membawa kedekatan hubungan dengan Radius Prawiro. Hingga dikemudian hari, saat Sularso menjadi Ketua Umum PGI dan Radius Prawiro menjadi Ketua Majelis Pertimbangan PGI, saat Sularso membangun rumah, maka Radius Prawiro memberi pinzaman uang kepada Sularso tanpa bunga.

Menjadi kurir logistik, bagi Sularso bukanlah hal yang mudah. Ia harus berjalan kaki sejauh 25 km berkali-kali ke daerah Japanan, Godean Utara yang menjadi markas TP saat itu. Pernah suatu kali, dalam perjalanan ia merasa lapar. Kemudian ia ingin membeli bubur untuk pengisi perut. Tetapi ketika dia melihat bahwa tempat yang digunakan untuk menaruh bubur bukan wadah biasa tetapi pispot, segera saja rasa laparnya hilang. Ia segera meninggalkan tukang penjual bubur, karena ia merasa tidak bisa makan bubur dengan wadah pispot, sebuah tempat untuk buang kotoran orang sakit di rumah sakit.

IMG-20241112-WA0035
Penulis saat launching buku biografi Sularso Sopater di STT Jakarta

Memiliki Jabatan-jabatan dalam Pemerintahan

Sebagai Ketua Umum PGI, ia juga mengemban tugas mewakili umat Kristen dalam hubungan dengan pemerintah dan umat-umat beragama yang lain di Indonesia. Dalam kaitan dengan tugas perwakilan ini, Sularso Sopater diangkat sebagai anggota MPR RI (1977 – 1992), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) 1989 – 1998 (dua periode), Anggota Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional (BPKN) 1989-1993 dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI ( DPA RI) thn 1993 – 2003 (dua periode) yang berarti melintasi masa pemerintahan 4 orang Presiden RI yaitu Presiden Soeharto, Presiden B.J.Habibie, Presiden Abdurahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Selain itu, ia juga menjadi wakil Umat Kristen dalam Wadah Musyawarah antar Umat Beragama (WMAUB) yang difasilitasi oleh Menteri Agama RI.

Pada saat Sularso Sopater menjadi anggota, BPPN bekerja sangat aktif, dipimpin oleh Prof. Dr. Max Makaminan-Makagiansar dengan suasana kerjasama yang amat baik. Ia bekerjasama akrab dengan anggota-anggota BPPN lain, misalnya: Barnabas Suebu SH (Gubernur Irian Jaya), Prof. Dr Quraish Shihab (Rektor IAIN Syarif Hidayatulah, yang kelak menjadi Mentei Agama), K.H. Sahal Mahfudz (Rois Am Nahdlatul Ulama), Drs Mohamad Djasman Al Kindi (Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta) dan tokoh-tokoh lainnya.

Sularso Sopater sejak tahun 1993 menjadi anggota DPA RI (Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia). Dewan Pertimbangan Agung adalah salah satu Lembaga Tinggi Negara, yang memiliki fungsi dan peran strategis dalam sistem ketatanegaraan RI pada waktu itu. Berdasarkan pasal 16 UUD 45, DPA berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden, dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. DPA pada masa jabatan 1998-2003 yang terbentuk pada awal reformasi, lebih bersikap proaktif dan terbuka sesuai dengan semangat dan tuntutan rakyat.

Perhatian Dunia Pendidikan

Sebagai wakil umat Kristen ia memberi perhatian khusus mengenai masalah pendidikan di Propinsi yang waktu itu disebut Irian Jaya (saat ini disebut Papua). Gubernur Bas Suebu saat itu, sebagai anggota BPPN mengundang Tim kunjungan ke berbagai wilayah pedalaman, untuk menunjukkan problem-problem yang harus diatasi. Dengan mata dan hati Sularso Sopater mencoba memahami kesenjangan-kesenjangan yang terjadi. Ia belajar memahami kesenjangan budaya yang harus dijembatani. Bagaimana sekolah dasar dapat diselenggarakan, tatkala anak-anak usia sekolah harus ikut orang tua mereka mencari makan dengan meramu hasil hutan seadanya? Apakah sekolah berasrama mejadi solusinya?

Ia saat itu mengagumi usaha seorang guru asal Tapanuli Utara, yang mendirikan sekolah berasrama dengan pendekatan budaya daerah berbentuk “kampus honay”, dikitari dengan kebun sayuran dan kolam-kolam ikan untuk melatih berswasembada pangan. Ia juga sangat mendukung pola berfikir kreatif dalam pembangunan sekolah-sekolah dengan bahan-bahan bangunan kayu yang mudah diperoleh di sekitarnya, dan tidak perlu mengacu pada pola gedung sekolah standar yang harus dibangun dengan menggunakan semen dan batu bata. Di daerah pedalaman, harga semen luar biasa mahal, karena harus diangkut dengan pesawat terbang.

Oleh: Suyito Basuki

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!