Dr Emrus Sihombing :Indonesia segera membahas dan membuat Rancangan Undang-Undang Anti Kejahatan Komunikasi

Kefaspelita
Flyermaker 07022020 172227
Spread the love

Jakarta – Pelitanusantara.com |Negara melalui aparat pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat dan semua elemen masyarakat memerlukan aturan atau regulasi dalam mengatur tata cara berkomunikasi. Sebab, saat ini, dunia komunikasi dan pergaulan sosial di Tanah Air, sudah kacau balau.

Dosen Ilmu Komunikasi Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr Emrus Sihombing menyampaikan, bukan hanya dalam tataran etika saja banyak pelanggaran sangat massif dalam berkomunikasi saat ini di Indonesia. Tetapi sudah masuk menjadi kejahatan serius dalam komunikasi.

Dia menyarankan agar Indonesia segera membahas dan membuat Rancangan Undang-Undang Anti Kejahatan Komunikasi, untuk menanggulangi dan mengatur arus lalulintas komunikasi, tata cara berkomunikasi di dunia media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat bangsa.

“Perlu, dan menurut saya sudah mendesak, bangsa kita merumuskan RUU Anti Kejahatan Komunikasi dengan sanksi fisik yang sangat-sangat berat. Dan disertai dengan hukuman sosial lainnya, seperti kerja sosial yang mengenakan seragam khusus,” tutur Emrus Sihombing, Minggu (09/02/2020).

Direktur Eksekutif  Lembaga Emrus Corner ini menyatakan, pemberian sanksi yang berat itu sebagai upaya memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan komunikasi.

“Dan sekaligus sebagai lonceng peringatan bagi orang lain, agar tidak sekali-kali memproduksi dan menyebarkan segala bentuk kejahatan komunikasi,” ujar Emrus.

Dia juga menyarakan, supaya dalam rumusan RUU Anti Kejahatan Komunikasi itu juga mewajibkan mencantumkan nomor KTP atau identitas lainnya pada setiap akun sosial yang dimiliki.

Emrus menyampaikan, kajiannya itu juga telah disampaikannya dalam pertemuan-pertemuan dan dialog publik maupun di ruang-ruang kelas.

Dalam makalahnya yang berjudul Strategi Menangani Maraknya Kejahatan Komunikasi di Media Sosial, Dr Emrus Sihombing juga telah menekankan pentingnya pemahaman baru mengenai jenis kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Yang salah satunya kini, Kejahatan Komunikasi masuk dalam kategori itu.

“Mungkin sudah pernah terdengar di telinga kita adanya kejahatan ekonomi sebagai perbuatan yang tidak mengindahkan moral, etika kepatutan, peraturan dan  undang-undang (UU) bidang ekonomi. Misalnya, aspek perdagangan, keuangan dan sebagainya.  Kejahatan yang sama pasti juga terjadi di semua bidang sosial lainnya, seperti kejahatan bidang komunikasi, saya sebut sebagai kejahatan komunikasi,” tutur Emrus Sihombing.

Dia melanjutkan, dengan meminjam pengertian kejahatan ekonomi, maka kejahatan komunikasi bisa diartikan sebagai perbuatan memproduksi, mendistribusikan dan atau menyebarkan pesan yang mengandung makna tertentu yang tidak mengindahkan moral, etika kepatutan, peraturan  dan UU yang terkait dengan aktivitas komunikasi di ruang publik.

Emrus menyebut, ada banyak contoh kejahatan komunikasi. Misalnya mengubah simbol pada rangkaian kata seperti “D1p4ks4 m3m1l1h p4slon ……”.  “Makna tersampaikan, namun tidak bisa dijerat hukum pidana dan UU ITE,” katanya.

Dia juga mengingatkan, dengan menggunakan simbol-simbol tertentu dengan makna tertentu pula, berpotensi menimbulkan disorder sosial, serperti mengganggu kerukunan  antar umat beragama.

“Misalnya, dengan mengatakan “Kepercayaan tetangga sebelah, bla-bla-bla dst. Ini Kejahatan Komunikasi Diskriminatif,” ujarnya.

Jadi, mendiskreditkan aliran nilai dan atau kepecayaan orang lain dengan berbagai kemasan pesan. Misalnya, menggunakan kata kafir yang tidak pada tempatnya.

“Sebab, dari aspek Ilmu Komunikasi, simbol tak bermakna, tetapi manusialah yang memberikan makna terhadap simbol. Dengan demikian, makna bisa dikonstruksi sesuai dengan kepentingan siapa yang memproduksi  pedsan melalui penggunaan simbol tertentu,” tutur Emrus.

Konstruksi makna akan mendorong perilaku sosial dalam suatu masyarakat. Makna mendorong perilaku. Bila kepercayaan orang lain dimaknai sebagai kafir, maka perilaku interaksinya dengan orang lain itu akan unik.

Karena itu, Emrus mendorong, ceramah apapun, termasuk ceramah tentang siar agama harus menggunakan simbol yang dapat menimbulkan makna yang mendorong perilaku inklusif, bukan ekslusif di tengah masyarakat.

“Karena itu, menurut saya, hoax, ujaran kebencian, menyindir, menyajikan pesan hanya dari satu sisi yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain (doktrin atau ajaran ajaran tertentu), termasuk penggunaan gabungan huruf, angka dan tanda baca yang mempunyai makna tertentu merupakan salah satu bentuk kejahatan komunikasi luar biasa atau extra ordinary crime,” jelasnya.

Sebab, pesan hoax, misalnya, sangat didominasi yang bukan fakta dan data, bersifat provokatif, adu domba, acapkali berujung men-delegitimasi institusi formal (misalnya eksistensi lembaga negara), kredibilitas sosok pemimpin yang masih legitimate, dan ajaran atau doktrin agama tertentu.

“Hoax bukan berita. Sangat tidak pantas dipakai kata berita di depan kata hoax. Jadi, tidak ada berita hoax. Yang ada pesan kebohongan alias hoax. Hoax adalah hoax. Kebohongan adalah kebohongan,” ujarnya.

Sedangkan, berita itu berbasis pada fakta, data, bukti yang sudah melalui proses check and recheck secara ketat, yang berfungsi memberi informasi  dan mengurangi ketidakpastian, mendidik dan menghibur khalayak  atau masyarakat.

Sebagai kejahatan komunikasi luar biasa (extra ordinary crime), hoax, ujaran kebencian, menyindir, menyakikan pesan hanya dari satu sisi yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain.

Termasuk memanfaatkan gabungan huruf, angka dan tanda baca yang mempunyai makna tertentu sangat berpotensi menimbulkan  atau mengkonstruksi perbedaan pandangan yang sangat tajam dan energi emosi negatif, gesekan sosial, konflik horizontal dan kekacauan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik.

Seperti menimbulkan ketidaknyamanan relasi antar individu serta antar kelompok dalam suatu tatanan sosial atau dalam suatu negara kebangsaan.

“Kondisi sosial semacam ini merupakan ancaman laten terhadap eksistensi kohesi sosial antar sesama anak bangsa dalam suatu Negara,” ujar Emrus.

Dari sudut rentang waktu, ada tiga hal yang disarankan Emrus untuk dilakukan sebagai bangsa, melawan serta menolak atau paling tidak membuat hoax, ujaran kebencian, sindiran, menyajikan pesan hanya dari satu sisi yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain, termasuk penggunaan gabungan huruf, angka dan tanda baca yang mempunyai makna tertentu agar layu sebelum berkembang.

“Pertama, untuk jangka pendek. Dalam melaksanakan peran sosialnya, para aktor sosial harus bersama-sama mengumandangkan anti hoax, ujaran kebencian, menyindir, mengesampingkan pesan hanya dari satu sisi yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain (doktrin atau ajaran agama tertentu). Termasuk menggunakan gabungan huruf, angka dan tanda baca yang mempunyai makna tertentu. Dan sekaligus secara simultan menggelorakan komunikasi damai dan nilai-nilai ke-Indonesia-an di ruang publik maupun ceramah siar agama,” jelasnya.

Untuk itu, dari aspek interaksi komunikasi, saling menghormati gagasan, pemikiran, doktrin atau ajaran yang satu dengan yang lain, sebagai suatu kebutuhan dalam suatu tatanan sosial, seperti negara kita Indonesia.

“Bukan membuat kelompok masyarakat tertentu atau bentuk ajaran yang lain pada posisi tidak nyaman,” ujarnya.

“Kedua, ya sangat perlu merumuskan RUU Anti Kejahatan Komunikasi itu, lengkap dengan sanksi-sanksinya yang mampu memberikan efek jera bagi para pelaku dan mencegah orang lain untuk tidak melakukan kejahatan komunikasi,” ujarnya.

Emrus mengingatkan, kejahatan komunikasi  merupakan perbuatan yang sangat berbahaya. Bahkan jauh lebih berbahaya dari kejahatan korupsi.

“Kejahatan komunikasi bisa mengkonstruksi realitas sosial yang menimbulkan kekacauan yang berpotensi mengganggu keberadaan dan keutuhan suatu negara. Ancaman bagi NKRI,” tandasnya.

Sejak dulu, katanya, hingga tanpa batas waktu ke depan, kiranya seluruh komponen Bangsa Indonesia, tanpa kecuali, apapun profesinya, para aktor sosial termasuk dosen dan tokoh agama, harus bersama-sama mengkomunikasikan pesan yang menimbulkan kebersamaan, kedamaian dan ke-Indonesia-an.

“Ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Misalnya, semua pihak harus menggelorakan komunikasi beradab yang inklusif dan pluralis di sosial media, ruang-ruang publik, ruang kuliah, ruang ceramah agama, dan sebagainya,” ujar Emrus Sihombing.(Kfs)

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!