“Covid-19 menyengsarakan UMAT MANUSIA SEDUNIA.”

Palicardo
Fb Img 1608373896701
Spread the love

Jakarta, 19 Des’ 2020, Pelitanusantara.com | Kaget juga mendengarnya bahwa pemerintah tiba-tiba mengumumkan kebijakan mengenai pengetatan protokol kesehatan secara komprehensif, walaupun pemerintah tidak gembar-gembor secara besar-besaran seperti ketika Jakarta menginjak rem darurat 2 bulanĀ  yang lalu. Perjalanan darat, laut dan udara yang menggunakan angkutan umum tiba-tiba mensyaratkan dokumen bebas covid-19 menggunakan “Uji Rapid Antigen”, di mana sebelumnya cukup dengan menggunakan Uji Rapid Antibody. Bahkan khusus untuk perjalanan udara menuju pulau Dewata harus dilengkapi dengan dokumen bebas covid menggunakan PCR swab.

Tentu saja kebijakan tiba-tiba ini cukup menggemparkan. Lebih dari 100.000 calon wisatawan ke Bali dengan menggunakan alat transportasi udara, dengan amat terpaksa membatalkan perjalanannya. Bisa diprediksi bahwa hotel-hotel di Bali yang sudah lama “tidak makan” terpaksa harus kembali berpuasa lebih lama lagi. Entah sampai kapan mereka mampu bertahan untuk terus berpuasa. Saya jadi ingat dengan gurauan rekan saya yang sering berkata “gajah aja yang badannya gedhe, kalau lama ndak makan, ya mati juga.”

Saya yakin pasti ada alasan yang sangat kuat mengapa kebijakan ini tiba-tiba diambil. Kalau kita telusuri dari data dan angka, kita bisa menebak penyebabnya. Pertama tingkat positivity rate (persentasi jumlah yang positif dibandingkan dengan total jumlah yang diperiksa) ternyata melonjak ke 18,5%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka di kisaran 12 – 13% di bulan Nopember 2020, dan memang masih jauh lagi kalau dibandingkan dengan standar WHO di 5%.

Yang kedua adalah persentasi jumlah kasus aktif (jumlah orang yang masih terpapar covid-19 dibandingkan dengan jumlah total kasus covid-19) meningkat juga secara drastis ke 15,1% dibandingkan dengan angka 12,5% di bulan Nopember. Angka ini memang masih lebih rendah dibandingkan dengan rerata angka kasus aktif dunia di 27,5%. Persoalannya adalah di angka absolutnya yang mencapai 97.139 orang. Dengan asumsi bahwa 20% dari kasus aktif ini membutuhkan layanan fasilitas kesehatan, maka dibutuhkan hampir 20.000 ruang perawatan di rumah sakit. Ini yang membuat banyak rumah sakit yang penuh dan kewalahan menerima masuknya pasien baru. Belum lagi kalau dilihat dari persentasi pasien yang membutuhkan perawatan intensif, yaitu di kisaran 3% atau sekitar 3.000 ruang perawatan intensif.

Ditinjau dari sisi angka fatalitas (persentasi jumlah kematian dibandingkan jumlah orang yang terpapar), Indonesia masih sekitar 3,1%. Angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka rerata dunia di 2,0%. Kedua data tersebut menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan kita memang belum memadai, walau standar penanganan dan pengobatan protokol covid-19 sudah mulai diketahui, dibandingkan dengan ketika awal kasus ini meledak di awal 2020.

Atas alasan itulah kelihatannya pemerintah memutuskan untuk menggeser bobot perimbangan sementara antara penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi. Apalagi dampak dari kerumunan akibat liburan panjang di bulan Oktober, kerumunan di bulan Nopember dan kerumunan akibat Pilkada Serentak mulai terasa. Dikawatirkan seluruh fasilitas layanan kesehatan akan lumpuh apabila penambahan kasus aktif dibiarkan akibat kerumunan liburan akhir tahun.

Covid-19 memang menyengsarakan umat manusia sedunia. Ujudnya tidak kasat mata, tapi dampaknya luar biasa. Mari kita tetap dukung kebijakan pemerintah agar Indonesia bisa cepat keluar dari pandemi covid-19. Jaga kesehatan dengan selalu memakai masker dengan benar, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

Dr. Harris Turino – Pendiri Gerakan Pakai Masker (GPM)

Tinggalkan Balasan

error: Coba Copy Paste ni Ye!!