Pelitanusantara.com Rake Mapatih ring Janggala Kadiri Pu Mada (Rakryan Mahapatih Jenggala dan Kadiri, kedua wilayah utama Majapahit waktu itu) bersama-sama dengan Samgat Jamba, Samgat Pamotan, Empu Kandangan, dan Sang Arya Rajadhikara pernah merestui agar Pamegat Tirwan bernama Wangsapati menyusun sebuah piagam yang kita kenal sebagai prasasti Himad-Walandit. Piagam ini diterbitkan untuk mengukuhkan keputusan akhir dari sebuah perselisihan yang sengit hingga menggegerkan desantara Majapahit waktu itu.
Prasasti Himad-Walandit tidak berangka tahun, diperkirakan berasal dari masa awal Hayam Wuruk memerintah Majapahit atau mungkin dari masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328—1351 M). Prasasti ini tidak diketahui pasti tempat penemuannya, tetapi bila dibandingkan dengan nama-nama desa yang disebutkan dengan prasasti yang lainnya diperkirakan berasal dari daerah Singosari, Malang dan sekitarnya. Informasi tentang prasasti ini diterbitkan pertama oleh Dr. J.G. de Casparis dalam Inscriptie van Nederlandsh Indie, 1940, halaman 50-60.
Akar sengketa yang terjadi antara para rama di Walandit dengan para dapur di Himad tersebut berkenaan dengan perebutan hak pengelolaan dan pengawasan terhadap dharma kabuyutan (candi leluhur) dan patirthan di pegunungan Tengger yang ramai dikunjungi peziarah. Terdapat perbedaan pandangan atas kedudukan dharma kabuyutan dan status desa Walandit terhadap watak Himad.
Semula desa Walandit merupakan daerah swatantra atau sima yang telah ditetapkan oleh Mpu Sindok atau Śrī Mahārāja Rake Hino pu Siṇḍok Śrī Īśānawikramadharmmotunggadewa sebagaimana terpahat dalam prasasti Muncang pada bulan Caitra tanggal 6 Śuklapasa tahun 866 Śaka (3 Maret 944 M). Isi prasasti adalah perintah kepada rakryān i halu pu Sahasra dan rakai Kanuruhan pu Da, agar sebidang tanah yang terletak di sebelah selatan pasar di Muñcang yang termasuk wilayah Hujung dijadikan sima serta dilepaskan dari kekuasaan wilayah Hujung kepada Samgat (…) Dang Acāryya Hitam.
Diperkirakan desa Blandit-Wonorejo dulunya bernama Desa Muncang, yang berada dalam wilayah Hujung (Hujung ini diduga sekarang menjadi Dukuh Ngujung di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari). Kepala wilayah (watak) Hujung berpangkat Rakryan.
Tanah tersebut selanjutnya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, sebab diharuskan memelihara suatu bangunan prasada kabhaktyan bernama Siddhayoga. Hasil bumi tanah perdikan ini digunakan untuk membangun prasada kabhaktyan Siddhayoga, bangunan suci tempat para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara setiap hari dan mempersembahkan bunga bagi bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit. Swayambhu adalah nama lain dari Dewa Brahma. Sedang letak Walandit (Blandit-Wonorejo) memang berada di lereng Gunung Bromo sisi sebelah barat.
Prasasti Muncang adalah linggopala/ prasasti batu berbentuk segi lima yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa kuno. Dinamakan Muncang karena terdapat penyebutan desa Muncang di dalam teksnya. Prasasti Muncang ditemukan tahun1913 di Dukuh Blandit, Desa Wonorejo, Singosari, Kabupaten Malang.
Titah Raja Sindok ini juga didukung oleh prasasti Linggasutan yang berisi pelepasan Desa Linggasuntan dari wilayah Rakryan Hujung dan hasil pertanian di sana dipersembahkan kepada Bhatara i Walandit.
Prasasti Linggasuntan atau disebut juga prasasti Lawajati dikeluarkan pada hari Kamis pahing tanggal 12 Krsnapaksa bulan Bhadrawada tahun 851 saka atau 3 September 929 Masehi.
Desa Linggasuntan sudah tidak bisa ditemukan lagi pada saat sekarang. Sejarawan de Casparis (1940) berpendapat bahwa menilik ukuran besarnya prasasti Linggasuntan yang ditemukan di desa Lowokjati, prasasti ini masih in situ dan dengan demikian desa inilah yang dulu bernama Linggasuntan. Pendapat ini masih bisa diterima karena didukung fakta bahwa lokasi desa ini tidak terlalu jauh (+- 5 Km) di sebelah barat laut dusun Blandit sebagai salah satu wanua i tpi siring-nya (batas desa pinggir).
Desa Walandit merupakan hunian bagi para hulun atau abdi spiritual Sang Hyang Widhi wasa yang patuh. Kewajiban memuja dan mempersembahkan korban pada gunung Bromo dibebankan pada warga Walandit dan sekitarnya agar jangan sampai lalai untuk menghindari murka dewa-dewa atau roh yang bersemayam di dalamnya. Prasasti-prasasti abad 10 di jawa banyak memuat tentang Sang Hyang Brahma, sebutan yang ditujukan pada api suci yang dapat juga berarti Sang Hyang Gunung Api.
Hal ini masih diperkuat lagi dengan bukti dari prasasti lain yang ditemukan di daerah Penanjakan (desa Wonokitri) bertarikh 1327 Saka (1405 Masehi) yang menyatakan bahwa desa Walandit adalah kediaman hulun Hyang (abdi Tuhan) dan oleh karena itu tanah di wilayah sekitarnya yang disebut hila-hila (suci) dibebaskan dari pembayaran pajak. Di dalam prasasti disebutkan perihal larangan menarik pajak pada bulan titileman atau akhir bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa, yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba.
Epigraf J.G. de Casparis menganggap Walandit terletak di lereng barat Pegunungan Tengger, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Desa Wonorejo dulu bernama Blandit. Pada peta topografi lembar XLII 54-D:1918-1923 masih dijumpai sebuah dukuh bernama Blandit, bagian dari wilayah Desa Wonorejo (Casparis, 1940:52). Desa Mamanggis masih bisa dilacak sebagai daerah Kemanggisan yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang sekarang. Desa Jebing mungkin kini berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang.
Semula warga Walandit hanya mengakui kekuasaan dharma kabuyutan atas lembah dan bukit di sekitar Walandit tetapi dalam perkembangannya, para pejabat desa Himad menguasai Walandit. Sebagai sebuah daerah watak, Himad memiliki hak memungut pajak atas desa-desa bawahannya termasuk atas Walandit yang masuk wilayah kewatakannya. Para dapur Himad ingin memperoleh kembali pajak atas Walandit namun penduduk Walandit enggan mengakui kekuasaan pejabat-pejabat Himad dan menuduh mereka mencapuri urusan desa Walandit.
Para rāma di Walandit segera saja menunjukkan bukti dari masa Sindok yang berisi ketetapan bahwa Sang Hyang Dharmma Kabuyutan berstatus swatantra. Bukti yang dimaksud tentu saja adalah prasasti Muncang, sebuah piagam batu berlencana Raja Sindok yang telah mereka terima 400-an tahun sebelumnya.
Desa Walandit mendapatkan kewajiban untuk melakukan pemujaan dan memelihara dharma kabuyutan serta mengawasi orang-orang yang mandi dan mengambil air suci dari tempat ini. Mereka kembali menegaskan bahwa Walandit bukanlah merupakan punpunan dari Himad. Para dapur Himad sebaliknya mengajukan kesaksian bahwa kundi thani yang ditempatkan di Walandit berasal dari Himad dan dari para dapur Himad-lah para rama Walandit mengetahui akan kerusakan Sang Hyang Dharmma kabuyutan.
Bagaimanakah akhir dari perselisihan ini?
Atas kebijakan para pejabat tinggi negara, diputuskan untuk memenangkan Walandit di luar pengadilan karena Kesaksian para rāma dan bukti material yang ada di Walandit dianggap lebih kuat.
Satu kisah menarik yang membuktikan kecakapan nenek moyang dalam menjamin kelangsungan hidup bernegara; bahwa negara hadir dan berperan penting secara langsung mengurus rakyatnya. Gajah Mada adalah contoh pejabat karir yang memulai dari bawah; yang lurus, cinta tanah air, dan berprestasi gilang-gemilang sampai-sampai namanya lebih sering terkenal daripada raja junjungannya.
Sumber :Kekunoan.com